Oleh: R. Mh. Zidni Ilman NZ, S.Fils
Secara garis besar, Materialisme merupakan aliran filsafat yang menyatakan bahwa bahwa yang benar-benar ada hanyalah materi. Tidak ada fenomena apapun di dunia ini yang tidak terdiri dari materi. Materi merupakan satu-satunya substansi. Dengan demikian, ia menolak dan tidak mempercayai hal-hal metafisik (non-inderawi).
Dalam Islam sendiri, mempercayai hal-hal gaib merupakan salah satu ciri orang bertaqwa, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur`an,
اَلَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ
"(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagiaan rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka." (Q.S. Al-Baqarah [2] : 3)
Relativitas Nilai
"Relatif", kata yang sangat familiar di telinga terutama ketika bicara soal nilai. Relatif berarti tidak mutlak atau tidak absolut. Sesuatu bisa dipandang baik, buruk, kurang baik, biasa, atau sekedar lumayan saja. Karena memiliki nilai yang berbeda-beda, maka itu artinya nilai sesuatu tersebut relatif.
Secara etimologi, relatif merupakan kata serapan dari bahasa Inggris relative (adjective), derivasi dari kata relation (noun) dan relate (verb). Salah satu sinonimnya adalah connect atau connection yang berarti berhubungan, berkaitan, bertalian, bersambung. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu benda yang memiliki nilai yang berbeda-beda, maka nilai tersebut relatif. Dengan kata lain ia berhubungan dengan sesuatu yang lain. Sebuah pulpen akan dikatakan panjang jika dibandingkan (baca: dihubungkan) dengan sebatang korek api. Sebaliknya, ia dikatakan pendek jika disandingkan dengan sebuah penggaris. Jadi, hasil penilaian terhadap sesuatu "tergantung" dengan apa ia dihubungkan.
Penilaian terhadap sesuatu seperti panjang, tinggi, baik, tua, besar, jauh, barat, kanan, atau gerak hanya dapat diungkapkan ketika di dalam otak terdapat konsep mengenai pendek, rendah, buruk, muda, kecil, dekat, timur, kiri, dan diam. Hasil penilaiannya tergantung dengan benda lain yang juga dinilai bersamaan dengan sesuatu itu. Mungkin saja si A dianggap pintar di kelasnya, tapi belum tentu di kelas lainnya. Bisa jadi ia dinilai tinggi untuk ukuran orang Indonesia, tetapi sedang-sedang saja di seluruh kawasan Asia, atau malah pendek di mata orang Eropa. Intinya, semua nilai itu relatif.
Kembali ke persoalan materialisme yang hanya mengakui keberadaan materi saja. Tetapi pertanyaannya adalah bukankah itu tidak mungkin mengatakan sesuatu sebagai materi tanpa menghubungkannya dengan yang immateri? Bukankah keberadaan konsep tentang materi di benak manusia menunjukkan adanya konsep tentang yang immateri? Bukankah bumi dan benda antariksa lainnya dinamakan materi semata-mata karena ia duhubungkan oleh area luas di sekelilingnya yang bersifat immateri? Dan bukankah yang disebut "konsep" dan "nilai" itu sendiri bersifat immateri? Bukan begitu?
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar