Oleh: R. Mh. Zidni Ilman NZ, S.Fils
Asumsikan bahwa saat ini Anda tengah duduk melingkar bersama beberapa orang teman Anda sambil mengamati sebuah buku, misalnya. Lalu masing-masing dari mereka diminta untuk menjelaskan dan menilai mengenai apa yang dilihatnya.
Tentunya masing-masing memiliki pendapat yang bervariasi dan berbeda satu sama lain. Si A yang melihat dari arah depan akan mengatakan bahwa buku tersebut berbentuk persegi panjang berwarna hijau dengan judul besar dan berbagai hiasan. Sedangkan si B yang melihat di bagian samping akan menyangkal pendapat si A tadi dan berpendapat bahwa buku tersebut berbentuk balok dengan tulisan judul yang lebih kecil. Lain lagi bagi si C yang melihat dari atas. Ia akan mengatakan bahwa buku itu berwarna putih tanpa tulisan dan hiasan apapun. Jika Anda melihat dari belakang dan arah lainnya, maka Anda akan mempunyai penilaian yang berbeda pula.
Perbedaan pendapat itu sangat wajar dan sering terjadi mengingat masing-masing orang mengamati objeknya dengan sudut pandang yang berbeda. Dan jangan lupa bahwa latar belakang dan profesi seseorang juga dapat mempengaruhi hasil penilaian. Seorang penulis akan memuji habis-habisan kualitas isi buku tersebut, seorang penerbit memandangnya sebagai suatu peluang bisnis yang sangat menguntungkan, seorang ahli desain grafis hanya sibuk menilai seberapa menarik kemasannya, sedangkan bagi anak kecil benda itu sama sekali tidak berguna dan lebih asyik untuk dijadikan sebagai alat bermain. Lalu, siapa yang benar? Semuanya benar, karena memang demikianlah yang mereka lihat. Namun, sayangnya perbedaan pendapat tersebut terkadang memunculkan sikap saling menyalahkan satu sama lain dan tidak tertutup kemungkinan berlanjut dengan perkelahian. Bahkan, dalam konteks agama, adalah dengan saling mengkafirkan sesama muslim.
Oleh karena itu, perlu kiranya untuk segera dicari jalan keluarnya agar masing-masing pihak dapat menerima perbedaan ini. Sekurang-kurangnya ada tiga cara yang dapat dilakukan; pertama, dialog. Cara ini dianggap jitu untuk mengetahui sejauh mana pandangan yang dikemukakan oleh seseorang itu benar adanya disertai dengan argumentasi yang kuat dan meyakinkan. Dialog ilmiah, lebih tepatnya, merupakan sarana komunikasi efektif yang biasa dilakukan oleh kalangan terpelajar. Kedua, tukar tempat. Pertukaran tempat yang dimaksudkan di sini adalah bahwa masing-masing pihak mencoba untuk melihat dan mendalami suatu persoalan dengan sudut pandang dan pendekatan yang dilakukan oleh pihak lain, sehingga si A dapat mengetahui dengan jelas bahwa memang seandainya objek tersebut dilihat dari sudut pandang si B, maka akan memberikan gambaran yang berbeda.
Sedangkan cara terakhir adalah dengan tampilnya seseorang ke tengah-tengah mereka untuk memutar-mutarkan buku tersebut dan memperlihatkan seluruh bagiannya secara mendetail kepada tiap-tiap orang yang hadir di sana satu persatu. Dengan cara demikian, maka si A, si B, si C, dan lainnya tidak hanya memiliki satu perspektif saja, melainkan multi-perspektif. Dan seseorang yang dimaksud adalah kaum cendikia dan para alim ulama. Kehadiran mereka diharapkan dapat meredakan kekisruhan ideologis yang terjadi di tengah masyarakat, karena memang sudah menjadi tugas utama mereka untuk menjelaskan suatu persoalan secara komprehensif kepada masyarakat itu sendiri.
Dalam konteks Islam, itulah yang disebut dengan Islam Kaffah, yakni Islam yang ditinjau dari berbagai sudut pandang (perspektif, aspek), entah itu sosiologis, antropologis, geografis, politis, ekonomi, kultural, dan lain sebagainya, baik melalui jalur fiqh, tasawuf, filsafat, teologi, atapun lainnya. Ini penting dilakukan agar pemahaman masyarakat terhadap Islam semakin luas dan luwes. Dengan begitu, mereka akan hidup rukun, saling mengisi, dan tentunya lebih bijak dan tidak mudah saling menyalahkan.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, ada beberapa poin penting yang harus dicatat:
1. Setiap persoalan memiliki sudut pandang yang berbeda.
2. Berbeda sudut pandang, berbeda pula pendapatnya.
3. Latar belakang dan profesi ikut berperan dalam suatu penilaian.
4. Jangan mudah menyalahkan pendapat orang lain.
5. Diskusikan berbagai pendapat tersebut dengan membentuk forum diskusi, seminar, bedah buku, atau membuat artikel.
6. Jangan hanya terpaku di satu sudut pandang, pergi dan coba gunakan sudut pandang yang sama dengan lawan bicara kita. Begitu juga sebaliknya, ajak dia untuk melihat dari sudut pandang kita.
7. Seorang cendikia atau ulama dituntut untuk dapat memberi pencerahan kepada masyarakat dengan menampilkan beragam warna dan corak keilmuan, sehingga setiap persoalan yang muncul akan senantiasa disikapi dengan bijak.
8. Islam Kaffah adalah Islam komprehensif, yakni wajah Islam yang ditinjau dari berbagai perspektif dengan pendekatan multi-disipliner.
8. Islam Kaffah adalah Islam komprehensif, yakni wajah Islam yang ditinjau dari berbagai perspektif dengan pendekatan multi-disipliner.
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar