Oleh: R. Mh. Zidni Ilman NZ, S.Fils
Tuhan merupakan entitas yang sulit dianalisa secara rasional, terlebih lagi jika ingin dibuktikan secara empiris. Akal dan panca indera manusia memang terbatas, namun rasa ingin tahu manusia tak bisa dibendung hingga seringkali mengabaikan keterbatasannya. Ketika dunia berhasil ditaklukkan, ia pun mencoba untuk menaklukkan Tuhan dengan pandangan-pandangan yang lebih tepat disebut dengan asumsi belaka, mungkin juga retorika.
Sebenarnya, Tuhan tidak tinggal diam. Ia tahu akan kelemahan manusia memahami hakikat-Nya. Oleh karenanya, Ia sendiri yang berinisiatif memperkenalkan diri-Nya dalam bentuk wahyu yang dibawa oleh para utusan (rasio) dan mengejawantahkan dirinya dalam setiap ciptaan (empiris). Setiap wahyu (baca: kitab suci) yang turun selalu disertai dengan deskripsi tentang siapa dan bagaimana sebenarnya Tuhan, Sang Pencipta alam semesta. Hanya saja, konsep ketuhanan yang terkandung di dalamnya, lagi-lagi, disesuaikan dengan kondisi manusia yang serba terbatas.
Sebenarnya, Tuhan tidak tinggal diam. Ia tahu akan kelemahan manusia memahami hakikat-Nya. Oleh karenanya, Ia sendiri yang berinisiatif memperkenalkan diri-Nya dalam bentuk wahyu yang dibawa oleh para utusan (rasio) dan mengejawantahkan dirinya dalam setiap ciptaan (empiris). Setiap wahyu (baca: kitab suci) yang turun selalu disertai dengan deskripsi tentang siapa dan bagaimana sebenarnya Tuhan, Sang Pencipta alam semesta. Hanya saja, konsep ketuhanan yang terkandung di dalamnya, lagi-lagi, disesuaikan dengan kondisi manusia yang serba terbatas.
Namun, sekian ratus ribu ayat al-Qur'an dan hadits rasul sepertinya tidak bisa mengendalikan pikiran liar manusia dalam menjelajahi eksistensi-Nya. Pertanyaan mendasar bermunculan. Tetapi diantara pertanyaan-pertanyaan tersebut, banyak diantaranya bisa mengakibatkan kebingungan, paradoks, guncangan, bahkan kekufuran. Hal itu dikarenakan manusia itu sendiri yang seringkali terjerumus ke dalam antropomorfisme, yakni mendekati Tuhan dengan persepsi manusia yang notabene terikat oleh ruang dan waktu.
Di sisi lain, manusia dituntut untuk mengenali Tuhannya. Karena dengan mengenali Tuhan, manusia diyakini dapat menjalani kehidupannya dengan baik. Bahkan ilmu ketuhanan (teologi, aqidah) merupakan ilmu yang pertama kali wajib dipelajari oleh seluruh umat Islam sebelum mempelajari cabang ilmu lainnya. Dalam aqidah Islam, Tuhan dieksplorasi sedemikian rupa sesuai dengan landasan dalil naqli dan 'aqli yang qath'i. Namun sekali lagi jangan lupa bahwa manusia tetaplah manusia yang memiliki banyak kelemahan. Tidak semua pertanyaan dapat terjawab, bahkan tidak semua pertanyaan dapat dilontarkan begitu saja.
Syaikh Nawawi al-Bantani, seorang ulama terkemuka dari Banten, menuturkan dalam kitabnya, Syarh Kaasyifat al-Sajaa 'alaa Safiinat al-Najaa, bahwa ada empat pertanyaan berkenaan dengan Tuhan yang harus dihindari oleh manusia karena semuanya dapat melempar manusia ke dalam jurang kekufuran. Empat pertanyaan tersebut adalah: di mana, bagaimana, kapan, dan berapa. Di mana Allah berada? Bagaimana keadaan-Nya, kapan Ia ada, dan berapakah jumlah-Nya?
Masing-masing pertanyaan tersebut tidak boleh dikemukakan agar manusia tetap berada di zona aman. Akan tetapi jika ternyata ada orang yang bertanya demikian, maka Syaikh Nawawi sudah memberikan jawaban yang bisa diterima. Pertanyaan dan jawabannya adalah sebagai berikut:
1. Di mana Allah berada? Ia tidak bertempat di mana-mana dan sama sekali tidak tersentuh oleh waktu.
2. Bagaimana keadaan-Nya? Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-nya.
3. Kapan Ia ada? Ia adalah awal tanpa permulaan dan juga akhir tanpa penghabisan.
4. Berapa jumlah-Nya? Ia hanya satu tetapi bukan dalam hitungan matematis (tunggal, esa).
Itulah keempat pertanyaan yang harus dihindari sekaligus jawaban yang harus diberi. Dengan meninggalkan (tidak mempertanyakan)nya, lanjut Syaikh Nawawi, maka iman seseorang menjadi sempurna.
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar