Oleh: Noor Amin Sa’dullah
Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu’aib, ulama kharismatik yang teguh memegang pendirian.
Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.
Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.
Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.
Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu sharaf, nahwu, fiqh, manthiq, balaghah, dan bermacam ilmu syara’ yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan bahwa ayahanda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makki; dua ulama yang kesohor pada saat itu.
Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, beliau sudah hafal diluar kepala kitab-kitab nazham, diantaranya al-Ajurumiyyah, al-Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharah al-Tauhid, Sullam al-Munawwaraq, serta Rahabiyyah fi al-Fara`idl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab al-Syafi’i, semisal Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Fath al-Wahhab, dan lain sebagainya.
Pada tahun kemerdekaan, beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh ke Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali dan KH. Marzuqi.
Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.
Tanpa kenal batas, beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah al-Mukarramah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib.
Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama di bidangnya, antara lain Sayyid ‘Alawi bin Abbas al-Maliki, Syaikh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani, dan masih banyak lagi.
Dua tahun lebih beliau menetap di Makkah al-Mukarramah. Sekembalinya dari Tanah Suci, beliau masih melanjutkan semangatnya untuk ngangsu kaweruh yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, beliau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada ulama-ulama besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidlawi (mertua beliau), serta KH. Ma’shum –keduanya tinggal di Lasem. Selanjutnya KH. Ali Ma’shum (Krapyak, Jogjakarta), KH. Bisri Musthafa (Rembang), KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih (Mranggen), KH. Abbas (Buntet Pesantren Cirebon), Syaikh Ihsan (Jampes, Kediri), dan juga KH. Abul Fadhal (Senori).
Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama al-Anwar, satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.
Keharuman nama dan kebesaran beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil “jadi orang” karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang beliau miliki tidak cuma membesarkan jiwa beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari beliau.
Tiada harapan lain, semoga Allah melindungi beliau demi kemaslahatan kita bersama di dunia dan akherat. Amin ya Rabbal ‘alamin.
(Sumber)
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar