Photobucket

Laman

Rabu, 19 Oktober 2011

Palestina dan Filosofi Sepetak Tanah

Oleh: Muhammad Ja’far*



Beberapa waktu yang lalu, Barack Obama, Presiden Amerika Serikat (AS), mengeluarkan peryataan yang sangat mengejutkan terkait dengan proses perdamaian Palestina-Israel. Menurut Obama, Israel harus kembali pada garis batas negara sebelum perang pada tahun 1967, jika proses perdamaian dengan Palestina ingin tercapai. Sontak Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, memberikan reaksi keras terhadap gagasan Obama tersebut dan tidak menyetujuinya. Tulisan ini mencoba melihat persoalan batas teritori kenegaraan dalam perspektif yang lebih filosofis.


Tanah dan Eksistensi
Jika secara filosofis, tubuh adalah “penanda” bagi jiwa. Maka secara eksistensial, identitas seorang individu ditumpukan pada sepetak tanah. Hampanya tubuh tanpa jiwa, hampir serupa dengan kosongnya jati diri tanpa tanah. Pada tingkat komunal, tanah merupakan embrio lahirnya konsep negara dan bangsa. Secara tekhnis, kita mengenalnya dengan sebutan teritori. Batas antar sebuah negara dengan negara lainnya adalah garis geografis, yang ditandai dengan kepemilikan tanah.

Tanah bukan sebatas soal kapital yang hanya berdimensi material. Tanah terkait dengan aspek mental yang memiliki dimensi eksistensial: tanah adalah tempat “bermula”, sekaligus tempat seseorang “berpulang”. Tanah juga memiliki dimensi imajinal. Kesadaran tentang sebuah bangsa (nation) bertopang pada batas teritorial tanahnya. Pada sisi lain, tanah mempengaruhi pembentukan kesadaran mental dan karakter. Orang yang berdomisili di pesisir, memiliki karakter mental yang berbeda dengan mereka yang tumbuh di daerah pegunungan. Jadi, soal tanah, lebih dari sekedar soal geografis dan demografis. Tanah menyangkut dimensi eksistensial dan imajinal.

Konflik Israel-Palestina berkaitan dengan soal kepemilikan tanah. Selain soal perebutan teritori yang memiliki dimensi geopolitis, konflik tersebut berurat akar pada soal eksistensial. Diperebutkannya tanah-tanah tersebut bukan semata karena pertimbangan politis-strategis, namun juga menyangkut kesadaran historis. Imajinasi masyarakat kedua negara tentang bangsa mereka, bertopang pada batas-batas geografis negaranya. Dari situ kemudian terbangun kesadaran tentang identitas.

“Dari tanah mana” mereka berasal, akan dijadikan pijakan menentukan “siapa” mereka dan “kemana” mereka akan melakukan perjalanan historis. Kesadaran tentang ruang dan waktu menyatu. Karena itu, pergeseran penentuan batas sebuah negara akan secara otomatis “menggeser” kesadaran imajinal rakyatnya tentang identitas kebangsaan mereka.

Selama berada dalam tegangan konflik, baik rakyat Israel maupun Palestina, berada pada kondisi dilematis tersebut. Kesadaran eksistensial dan imajinal mereka tentang identitas kebangsaannya, berubah-ubah seiring dengan pergeseran batas teritorialnya. Dalam konteks ini, rakyat Israel cenderung mengalami “perluasan”. Sedangkan kesadaran eksistensial dan imajinalnya rakyat Palestina tentang identitas kebangsaannya dipaksa untuk semakin “menyempit”, dikarenakan batas teritori mereka yang diambil alih Israel.

Salah satu momentum dimana batas teritori Israel meluas yaitu pada tahun 1967. Melalui perang selama enam hari, Israel berhasil merebut 5 wilayah penting dari 3 negara Arab: Tepi Barat dan Jerussalem Timur dari Jordania, Jalur Gaza dan Sinai dari Mesir, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah. Bagi Israel, ini adalah kemenangan besar, karena dua hal:

Pertama, yang berhasil direbut merupakan wilayah-wilayah yang memiliki nilai penting dalam imajinasi historis rakyat Israel. Perang 1967 telah “memperluas” daya jangkau imajinal rakyat Israel tentang negara dan bangsa mereka.

Kedua, secara geopolitis, keberhasilan memperluas wilayah dipercaya dapat meningkatkan rasa aman rakyat Israel. Karena semakin luas wilayah Israel, semakin jauh daya jangkau negara sekitar untuk melakukan serangan. Namun sayangnya, secara faktual perluasan teritori tidak selalu diametral dengan rasa aman yang dibutuhkan. Meskipun berhasil merebut 5 wilayah pada 1967, Israel tetap berada dalam horizon keterancaman oleh negara sekitar. Hingga akhirnya, pada tahun 1978 Israel mengembalikan Sinai kepada Mesir, melalui kesepakatan Camp David. Dengan melepas Sinai, ketegangan hubungan politik Kairo-Tel Aviv mencair.

Perjanjian Camp David merupakan barter politik antara rasa aman dengan sepetak tanah (teritori). Perluasan teritori, yang berarti juga perluasan imajinasi kebangsaan, teryata tidak secara otomatis menguatkan rasa aman sebuah negara. Malah sebaliknya, perluasan model itu bisa memicu meningkatnya rasa terancam.

Di dalam negeri Israel, perjanjian Camp David tersebut menimbulkan pro-kontra. Kalangan konservatif tidak melihat adanya kesepadanan dalam proses barter tersebut. Bagi kelompok ini, semakin luas wilayah teritori Israel, maka rakyat Israel semakin dekat dengan epicentrum eksistensialnya. Dan dalam konteks itu, timbulnya rasa tidak aman merupakan konsekuensi dalam proses mencapai wilayah yang diperebutkan.

Sebaliknya, kalangan yang setuju dengan perjanjian Camp David menilai absurd arti sebuah teritori tanpa rasa aman. Dan pencapaian eksistensial sebuah bangsa terletak pada kemampuannya untuk menciptakan perdamaian, bukan justru memicu perang. Dalam perspektif kelompok ini, seberapa pun luasnya militer Israel mampu menganeksasi tanah sekitarnya (Palestina), tidak akan memiliki nilai apapun, jika hanya membuat psyko-politis rakyat Israel semakin terasing dan tertekan.

Tawaran Obama
Tawaran Obama agar Israel kembali pada batas wilayah sebelum perang 1967 memberikan daya kejut politik. Ini memicu reaksi keras kalangan politik konservatif Israel. Salah satunya Netanyahu sendiri. Secara faktual, memang sulit untuk mewujudkan perdamaian, jika Israel terus melakukan pembangunan pemukiman di Jerussalem Timur. Perdamaian tidak bisa dicapai melalui keberhasilan perluasan wilayah territorial, kecuali kita memahami damai sekedar sebagai kondisi menunda perang.

Tawaran Obama cukup realistis. Apalagi saat ini kondisi politik di internal Palestina menunjukkan kemajuan. Rekonsiliasi politik Hamas dan Fatah mengarah pada penyatuan visi tentang perdamaian dengan Israel. Jika proses konsolidasi sukses berlanjut, tinggal Israel yang dituntut untuk bisa mengatasi dualisme politik dalam negerinya. Bertumpu pada perspektif konservatisme dalam berdialog dengan Palestina, tidak akan memberikan kemajuan apapun pada proses perdamaian. Pemerintah Palestina yang sudah mengawali sikap lebih moderat, seharusnya diikuti dengan sikap sama oleh pemerintah Israel.

Tanah adalah penanda eksistensial sebuah bangsa. Namun pada saat yang sama, tanah bisa menjadi lubang hitam yang melumat basis eksistensial sebuah bangsa. Yaitu ketika kesadaran eksistensial yang bertopang pada kepemilikan akan tanah, berada diatas teritori yang terus berubah, baik dengan bertambah luas ataupun menyempit. Sebab, itu artinya bahwa kesadaran eksistensial terus berada dalam keterancaman (bayang-bayang perang). Kecuali, keterancaman dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari basis eksistensial sebuah bangsa, sebagaimana yang menjadi prinsip kelompok politik ultra-konservatif Israel.

* Pengamat Timur Tengah. Peneliti Indopol Research Centre dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar