Photobucket

Laman

Tampilkan postingan dengan label Aqidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Aqidah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 Oktober 2011

Komentar-komentar Kontroversial Moammar Qaddafi tentang Ajaran Islam



Moammar Qaddafi ternyata tidak hanya kontroversial di dunia politik. Ia juga kerap melontarkan komentar-komentar pedas dan mencengangkan seputar ajaran Islam. Komentarnya dianggap tidak lazim bahkan menjurus kepada penyimpangan aqidah Islam. Oleh karenanya, Qaddafi juga disebut-sebut sebagai Musailamah Abad ini. Tak heran jika mayoritas umat Islam justru berbahagia atas kematian Qaddafi yang juga menandakan tumbangnya rezim otoriternya di Libya.
Berikut beberapa komentar kontrovesial Qaddafi seputar ajaran Islam:
1. Tentang Haji tahun 1400 H
Haji tahun 1400 H ini hanya merupakan permainan tepuk tangan dan siulan belaka sebagaimana pada zaman jahiliyyah. Karena itu, apa artinya haji tahun ini dan juga tahun-tahun selanjutnya jika pendudukan Amerika masih terus berlanjut di Baitullah Masjidil Haram?
(Khutbah Iedul Adha di kota Jadu 19 Oktober 1990)
2. Tentang Ka’bah
“Ka’bah adalah berhala terakhir yang masih tersisa di antara berhala-berhala lainnya”
(Pembukaan Majlis Ittihad Al Jami’at Al Arobiyyah di kota Benghazi 18 Februari 1990)
3. Tentang Melontar Jumrah
“Kalian semua melontar jamarat? Yang wajib saat ini bagi kalian adalah melempar Zionis yahudi di Palestina. Setiap seorang dari kita membawa tujuh batu lalu pergi ke Palestina dan melempar para Zionis itu. Inilah Jihad sesungguhnya, inilah melontar Jamarat yang sebenarnya. Apa artinya melontar tujuh batu ke arah sebuah tonggak? Inilah ganti dari melontar Jamarat, inilah Haji yang sebenarnya di zaman ini.”
(Pembukaan Muktamar II Qiyadah Sya’biyyah Al Alamiyyah di kota Benghazi Trablus 19 Maret 1990)
4. Tentang Hijab
“Hawa telanjang bulat tanpa sehelai benang. Siapa yang lebih tahu dibandingkan Allah? Allah menciptakan kita sejak awal seperti itu. Inilah fithrah kita. Kalau bukan karena setan, kita tidak memakai sehelai benang pun, bahkan meskipun sehelai daun blueberry (waraqah tuut). Setan lah yang menyebabkan kita harus memakai pakaian seperti ini. Sedangkan sebelum itu, secara naluriah kita ini telanjang. Hijab sendiri adalah hasil perbuatan setan karena hijab adalah bentuk lain dari daun blueberry, dan ini adalah hasil karya setan untuk mencegah kita dari kemerdekaan dan melangkah ke depan …. Tidak mungkin bagi wanita harus mengenakan hijab dan tinggal di rumah saja. … haram…… hijab adalah hijab maknawi.”
(Pidato di depan Parlemen Tunis 8 Desember 1988)
5. Tentang Khulafaur Rasyidin
“Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa Sallam berlepas diri dari para Khalifah sepeninggal beliau. Ali menjadi Khalifah, tetapi mengapa ia diperangi oleh setengah dari kaum muslimin? anak cucunya juga diperangi. Utsman tidak pantas sebagai Khalifah karena ia seorang aristokrat dan mengangkat kerabatnya sebagai pembantu-pembantunya. Ia telah menyebarkan nepotism ke seantero wilayah Islam sehingga ia dibunuh…
(Multaqo II Universitas dan Ma’had Aly di Trablus 30 Maret 1991)
6. Tentang Riba
“Sistem ekonomi adalah sistem yang sudah mendunia. Dunia Islam seluruhnya menerapkan sistem ini. Jika mereka semua menerapkannya, maka kita juga. Siapa yang bilang haram ? Tidak haram. Tidak benar bahwa sistem ekonomi dunia saat ini adalah haram.”
(Muktamar Wartawan se-dunia, 13 Juni 1973. Ini adalah jawaban atas pertanyaan seorang wartawan Reuter cabang Mesir tentang riba)
7. Tentang Hadits Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam (bukti bahwa Qaddafi adalah penganut Madzhab Ingkarus Sunnah)
“Jika ada seseorang berkata kepada kita, “Hadits Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa Sallam harus kita muliakan dan kita hormati serta wajib disikapi sebagaimana kita bersikap terhadap Al Qur’an, INI ADALAH SYIRIK !!!! Mungkin ucapan saya ini kedengaran asing. Ini disebabkan saat ini kita sudah sangat jauh dari Islam, dan kita sedang berada di tengah jalan menuju penyembahan berhala dan menjauhkan kita dari Al Qur’an dan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka tidak ada jalan lain agar kita tidak terjerumus dalam penyembahan berhala dan penyimpangan yang sangat berbahaya kecuali dengan cara berpegang teguh kepada Al Qur’an saja dan beribadah kepada Allah semata.”
(Ceramah pada acara Maulid Nabi di Masjid Maulawi Muhammad di kota Trablus 19 Februari 1978)
8. Tentang Syari’ah Islam
“…… oleh karena itu Syari’ah Islam seharusnya cukup disikapi sebagai sebuah Madzhab Fiqh yang disusun oleh seseorang. Kedudukannya sama dengan undang-undang Romawi atau undang-undang Napoleon atau undang-undang lainnya yang disusun oleh para ahli hukum Perancis, Italia atau dari kaum muslimin ………………….. Maka siapa saja yang mempelajari undang-undang Romawi pasti akan menyimpulkan bahwa para ulama Islam menyusun undang-undang yang sangat mirip dengan undang-undang Romawi, akan tetapi mereka tidak mau mengakuinya. Mereka menyatakan bahwa ini adalah Agama (syari’ah Islam).”
(Pertemuan ramah tamah dengan para huffadz Al Qur’an di kota Trablus 3 Juni 1978)
9. Tentang Pengakuannya Sebagai Nabi
Dalam sebuah wawancara dengan Mirella Bianco, seorang wartawati dari Italia yang bertanya kepadanya : ” Wahai Nabi Allah … apakah engkau juga menggembala kambing?” Qaddafi menjawab, “Ya, tentu…. Tidak ada satu Nabi pun yang tidak menggembala kambing.”
(“Qaddafi : Messenger of Dessert” tulisan  Mirella Bianco halaman 241)
»»  Baca selengkapnya...

Sabtu, 08 Oktober 2011

Meruntuhkan Hegemoni Sosio-Ekonomi Quraisy

Oleh: R. Mh. Zidni Ilman NZ, S.Fils


Saat Muhammad diangkat menjadi rasul, Makkah merupakan pusat perekonomian dengan penghasilan yang cukup signifikan. Aktifitas perdagangan dari barat ke timur dan utara ke selatan ataupun sebaliknya pasti akan melintasi daerah ini. Di sanalah rombongan kafilah singgah untuk beristirahat serta melakukan ritual dan ibadah keagamaan, terutama haji dan ziarah ke baitullah, baik saat keberangkatan maupun kepulangan mereka.

Untuk mengakomodir kebutuhan spiritual para pemeluk agama, penduduk Makkah pun sengaja menyediakan ratusan berhala dan simbol-simbol suci dari berbagai agama dan kepercayaan, samawi atau non-samawi. Hal tersebut bernilai ekonomis, karena setiap kafilah yang masuk dan menikmati fasilitas akan dikenakan biaya dengan jumlah tertentu. Belum lagi dengan ibadah haji yang setiap tahunnya mendatangkan devisa yang berlimpah. Tak pelak, semua ini benar-benar menjadi ladang subur bagi perekonomian Makkah.

Kondisi demikian berlangsung hingga masa kerasulan Nabi Muhammad yang diutus untuk menegakkan kalimat tauhid, yakni "tiada Tuhan selain Allah". Sebenarnya masyarakat setempat tidak pernah meresahkan segala akivitas yang dilakukan Muhammad. Mereka yakin bahwa Muhammad tidak akan berbuat sesuatu yang macam-macam dan membiarkannya melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan barunya tersebut. Apalagi pada dasarnya mereka sudah mengenal konsep tersebut sejak ratusan tahun sebelumnya. Sebagai pusat lalu lintas perdagangan, secara otomatis Makkah juga menjadi pusat informasi. Setiap kafilah yang datang akan membawa seluruh kabar yang terjadi di daerah masing-masing, termasuk seputar ajaran keagamaan.

Intinya, masyarakat Makkah sudah tidak asing lagi dengan monotheisme. Yahudi, Nasrani, Agama Hanif, Majusi, bahkan paganisme sendiri sebenarnya meyakini ada satu Tuhan. Hanya saja perbedaannya terletak pada penamaan mereka kepada Tuhan dan aplikasi ajarannya. Oleh karenanya pada awal kemunculan Muhammad, mereka tidak mempersoalkannya sama sekali. Materi khutbah yang diberikan Muhammad ke setiap kafilah yang datang dianggap sebagai materi yang sudah lumrah.

Namun, lama kelamaan mereka merasakan dampak dari ajaran Muhammad ini. Dari hari ke hari, lambat laun jumlah peziarah semakin berkurang. Ajaran Muhammad benar-benar berpengaruh terhadap pola pikir para pendengarnya. Apalagi yang mengatakannya adalah sosok yang dikenal dengan kejujuran, kecerdasan, serta perilaku terpuji lainnya sejak dari masa anak-anak hingga dewasa. Kalimat tiada Tuhan selain Allah secara tidak langsung menyatakan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Dengan demikian setiap orang harus beribadah langsung ke Tuhannya tanpa memerlukan perantara apapun dan dapat dilakukan dimanapun ia berada. Karena itu, mereka sudah tidak memiliki kepentingan apa-apa lagi untuk singgah ke Makkah. Mereka tidak perlu berhala dan Ka'bah lagi untuk beribadah.

Penurunan jumlah peziarah itu sama artinya dengan berkurangnya pendapatan kota Makkah. Di sisi lain, pengaruh serta kewibawaan Quraisy pun semakin terkikis. Dampak sosio-ekonomi inilah yang akhirnya menyulut perlawanan keras dari masyarakat Makkah. Mereka tidak takut kehilangan pemeluk agama, yang mereka khawatirkan adalah kehilangan materi dan jabatan. Itulah yang sesungguhnya menjadi sasaran utama pada permualaan dakwah Muhammad. Baginya, untuk memperlancar tugas kerasulan ia harus dapat mengimbangi kekuatan sosial dan ekonomi suku Quraisy. Ketika hal itu belum memungkinkan, maka satu-satunya jalan adalah dengan cara meruntuhkannya.
»»  Baca selengkapnya...

Senin, 26 September 2011

Empat Pertanyaan yang Harus Dihindari: Menyempurnakan Iman di Zona Aman

Oleh: R. Mh. Zidni Ilman NZ, S.Fils


Tuhan merupakan entitas yang sulit dianalisa secara rasional, terlebih lagi jika ingin dibuktikan secara empiris. Akal dan panca indera manusia memang terbatas, namun rasa ingin tahu manusia tak bisa dibendung hingga seringkali mengabaikan keterbatasannya. Ketika dunia berhasil ditaklukkan, ia pun mencoba untuk menaklukkan Tuhan dengan pandangan-pandangan yang lebih tepat disebut dengan asumsi belaka, mungkin juga retorika.

Sebenarnya, Tuhan tidak tinggal diam. Ia tahu akan kelemahan manusia memahami hakikat-Nya. Oleh karenanya, Ia sendiri yang berinisiatif memperkenalkan diri-Nya dalam bentuk wahyu yang dibawa oleh para utusan (rasio) dan mengejawantahkan dirinya dalam setiap ciptaan (empiris). Setiap wahyu (baca: kitab suci) yang turun selalu disertai dengan deskripsi tentang siapa dan bagaimana sebenarnya Tuhan, Sang Pencipta alam semesta. Hanya saja, konsep ketuhanan yang terkandung di dalamnya, lagi-lagi, disesuaikan dengan kondisi manusia yang serba terbatas.

Namun, sekian ratus ribu ayat al-Qur'an dan hadits rasul sepertinya tidak bisa mengendalikan pikiran liar manusia dalam menjelajahi eksistensi-Nya. Pertanyaan mendasar bermunculan. Tetapi diantara pertanyaan-pertanyaan tersebut, banyak diantaranya bisa mengakibatkan kebingungan, paradoks, guncangan, bahkan kekufuran. Hal itu dikarenakan manusia itu sendiri yang seringkali terjerumus ke dalam antropomorfisme, yakni mendekati Tuhan dengan persepsi manusia yang notabene terikat oleh ruang dan waktu.

Di sisi lain, manusia dituntut untuk mengenali Tuhannya. Karena dengan mengenali Tuhan, manusia diyakini dapat menjalani kehidupannya dengan baik. Bahkan ilmu ketuhanan (teologi, aqidah) merupakan ilmu yang pertama kali wajib dipelajari oleh seluruh umat Islam sebelum mempelajari cabang ilmu lainnya. Dalam aqidah Islam, Tuhan dieksplorasi sedemikian rupa sesuai dengan landasan dalil naqli dan 'aqli yang qath'i. Namun sekali lagi jangan lupa bahwa manusia tetaplah manusia yang memiliki banyak kelemahan. Tidak semua pertanyaan dapat terjawab, bahkan tidak semua pertanyaan dapat dilontarkan begitu saja.

Syaikh Nawawi al-Bantani, seorang ulama terkemuka dari Banten, menuturkan dalam kitabnya, Syarh Kaasyifat al-Sajaa 'alaa Safiinat al-Najaa, bahwa ada empat pertanyaan berkenaan dengan Tuhan yang harus dihindari oleh manusia karena semuanya dapat melempar manusia ke dalam jurang kekufuran. Empat pertanyaan tersebut adalah: di mana, bagaimana, kapan, dan berapa. Di mana Allah berada? Bagaimana keadaan-Nya, kapan Ia ada, dan berapakah jumlah-Nya?

Masing-masing pertanyaan tersebut tidak boleh dikemukakan agar manusia tetap berada di zona aman. Akan tetapi jika ternyata ada orang yang bertanya demikian, maka Syaikh Nawawi sudah memberikan jawaban yang bisa diterima. Pertanyaan dan jawabannya adalah sebagai berikut:

1. Di mana Allah berada? Ia tidak bertempat di mana-mana dan sama sekali tidak tersentuh oleh waktu.
2. Bagaimana keadaan-Nya? Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-nya.
3. Kapan Ia ada? Ia adalah awal tanpa permulaan dan juga akhir tanpa penghabisan.
4. Berapa jumlah-Nya? Ia hanya satu tetapi bukan dalam hitungan matematis (tunggal, esa).

Itulah keempat pertanyaan yang harus dihindari sekaligus jawaban yang harus diberi. Dengan meninggalkan (tidak mempertanyakan)nya, lanjut Syaikh Nawawi, maka iman seseorang menjadi sempurna.
»»  Baca selengkapnya...

Komentar