Photobucket

Laman

Selasa, 27 September 2011

Karya-karya Monumental Syaikh Nawawi al-Bantani

Oleh: R. Mh. Zidni Ilman NZ, S.Fils



Siapa yang tidak kenal dengan Syaikh Nawawi al-Bantani? Ulama yang lahir di Kampung Tanara, Serang, Banten tahun 1815 M/1230 H, dengan nama lengkap Muhammad Nawawi ibn 'Umar ibn 'Arabi al-Tanara al-Jawi al-Bantani, ini adalah salah seorang pengajar di lingkungan Masjidil Haram, Makkah, di perguruan Nasyr al-Ma'arif al-Diniyyah.

Pada tanggal 25 Syawwal 1314 H, Syaikh Nawawi menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 84 tahun. Beliau wafat saat sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan kitab Minhaaj al-Thaalibiin karya Yahya ibn Syaraf ibn Mura ibn Hasan ibn Husain. Beliau dimakamkan di Ma'la, dekat makam Siti Khadijah, istri Nabi Muhammad saw. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam
di Jawa khususnya di Banten, umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa, Banten, setiap tahun di hari Jum'at terakhir bulan Syawal selalu diadakan acara haul sebagai bentuk kecintaan dan penghargaan mereka sekaligus untuk memperingati jejak peninggalannya.

Karya-karyanya
Syaikh Nawawi al-Bantani dikenal sebagai penulis produktif. Tulisan-tulisannya dalam bentuk kitab berjumlah puluhan, dan seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab, sehingga ia dikenal dengan baik di Mesir, Syam, Turki, dan India.

Karya-karya besar Syaikh Nawawi yang gagasan pemikirannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi ke dalam tujuh kategorisasi bidang, yakni bidang fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, hadits, sejarah Nabi, serta bahasa. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya dalam satu kitab. Berdasarkan informasi, kitab-kitab karangannya (sekitar 115 judul kitab) ada di universitas al-Azhar Mesir, Belanda, dan di tempat-tempat lainnya. Bukan hanya itu, karya-karya beliau juga terdapat di perguruan tinggi Chicago.

Berikut daftar sebagian kitab karya beliau:
  • A. Fiqh
  1. Al-‘Aqd al-Tsamîn, ulasan atas kitab Fatĥ al-Mubîn, Kairo: Mathba‘at al-Wahbîyah, 1300.
  2. Fatĥ al-Mujîb, ulasan atas kitab Manâsik al-‘Allâmah al-Khathîb karya Muĥammad ibn Muĥammad ibn al-Syirbînî al-Khathîb, Mesir: Bûlâq, 1276, 1292; Kairo, 1297, 1298; Makkah: Mathba‘at at-Tarâqî Majîdîyah1316, 1328.
  3. Kâsyifat al-Sajâ, ulasan atas kitab Safînat al-Najâ karya Syaikh Sâlim ibn Samîr al-Ĥadhramî, Kairo: Mathba‘at al-Mushthafâ, 1292, 1301, 1302, 1303, 1305; Bûlâq, 1309; Indonesia: Maktabat al-‘Aydrûs, tt.
  4. Mirqât Shu‘ûd al-Tashdîq, ulasan atas kitab Sullam al-Tawfîq karya Sayyid ‘Abd Allâh ibn Ĥusayn ibn Thâhir ibn Muĥammad ibn Hâsyim  ‘Alawî, Mesir, 1292; Makkah: Mathba‘at al-Mirîyah, 1304. Kitab ini juga memuat pembahasan tentang tauhid dan tasawuf.
  5. Nihâyat al-Zayn, ulasan atas kitab Qurrat al-‘Ayn karya Syaikh Zayn al-Dîn al-Malîbârî, Mathba‘at al-Wahbîyah, th. 1297; Bandung: Syarikat al-Ma‘ârif, tt.
  6. Qût al-Ĥabîb, ulasan atas kitab Fatĥ al-Qarîb al-Mujîb karya Ibn Qâsim al-Ghazî, Kairo, 1301, 1305, 1310.
  7. Sullam al-Munâjâh, ulasan atas kitab Safînat al-Shalâh karya Sayyid ‘Abd Allâh al-Ĥadhramî ibn ‘Umar, Mesir: Bûlâq, 1297 dan 1301; Mathba‘at al-Maymanah, 1300.
  8. Al-Tsimâr al-Yâni‘ah, ulasan atas kitab Riyâdh al-Badî‘ah karya Syaikh Muĥammad Ĥasb Allâh), Mesir: Mathba‘at al-Bahîyah, 1299; Mesir: Mathba‘at Mushtafâ al-Babî al-Halabî, 1342.
  9. Uqûd al-Lujayn fî Ĥuquq al-Zawjayn, Mathba‘at al-Wahbîyah, 1316.
  • Tauhid
  1. Bahjat al-Wasâ`il, Mesir: Bûlâq, 1292; dan Mathba‘at al-Maymanah, 1334.
  2. Dzarî‘at al-Yaqîn ‘Alâ Umm al-Barâhîn, Mathba‘at ‘Abd al-Razzâq, 1303; dan Makkah, 1317.
  3. Fatĥ al-Majîd, ulasan atas kitab Durr Farîd, Makkah: Mathba‘at al-Mirîyah, 1304, 1298. Selesai 7 Ramadan 1294 H/1877 M.
  4. Ĥilyat al-Shibyân, ulasan atas kitab Fatĥ al-Raĥmân Tajwîd al-Qur`ân, Makkah: Mathba‘at al-Mirîyah, 1332.
  5. Nûr al-Zhalâm, ulasan atas kitab ‘Aqîdat al-‘Awwâm karya Sayyid Aĥmad al-Marzûqi al-Mâliki, Mathba‘at ‘Abd al-Razzâq, 1303; dan Mathba‘at al-Ijmâlîyah, 1329.
  6. Qâmi‘ al-Thughyân, Mathba‘at al-Wahbîyah, 1296.
  7. Qathr al-Ghayts, ulasan atas kitab Masâ`il Abî al-Layts karya Nashr ibn Muĥammad ibn Aĥmad ibn Ibrâhîm al-Ĥanafî al-Samarqandî, Makkah: Mathba‘at al-Mirîyah, 1321.
  8. Tîjân al-Darârî, ulasan atas kitab Risâlat al-Bâjûrî karya Syaikh Ibrâhîm al-Bâjûrî, Mesir, 1301; Mathba‘at al-Maymanah, 1309; dan Makkah, 1309. Selesai 7 Rabî‘ al-Awwal 1297 H/1879 M.
  • Tasawuf
  1. Fatĥ al-Shamad al-‘Alîm, Mesir: Mathba‘at Dâr al-Kutub ‘Arabîyah al-Kubrâ, 1328. Selesai pada awal Jûmâdî al-Awwal 1286 H/1869 M.
  2. Al-Futûĥât al-Madanîyah Syu‘ab al-Îmânîyah, Makkah: Mathba‘at al-Mirîyah, 1323.
  3. Al-Isti‘dâd li Nashâ`iĥ al-‘Ibâd, ulasan atas kitab al-Munabbihât li Yawm al-Ma‘âd karya Syaikh Syihâb al-Dîn Aĥmad ibn Aĥmad al-‘Asqalâni, Makkah: Mathba‘at  al-Mirîyah,  cet. 2, 1323. Selesai pada tanggal 21Shafar 1311 H/1893 M.
  4. Marâqî al-‘Ubûdîyah, ulasan atas kitab Bidâyat al-Hidâyah karya al-Ghazâli, Mesir: Bûlâq, 1293, 1309; dan Mesir, 1298, 1304. Selesai pada 13 Dzû al-Qa‘dah 1289 H/1872 M.
  5. Mishbâĥ al-Zhalâm ‘alâ Manhaj al-Atamm Tabwîb al-Ĥikam, Makkah: Mathba‘at al-Mirîyah, 1314. Selesai Jumâdî al-Awwal 1305 H/1887 M, dan dicetak atas biaya saudara kandung beliau sendiri, yaitu ‘Abd Allâh al-Bantanî.
  6. Salâlîm al-Fudhalâ`, ulasan atas kitab Hidâyat al-Adzkiyâ` karya Syaikh Zayn al-Dîn al-Malîbârî, Makkah, 1315.
  7. Mirâĥ Labîd li Kasyf Ma‘nâ Qur`ân Majîd, dikenal juga dengan sebutan
     Tafsîr al-Munîr li Ma‘âlim al-Tanzîl al-Musfir ‘an Wujûh Maĥâsin al-Ta`wîl atau Tafsîr al-Nawâwî.
  • Hadits
  1. Tanqîĥ al-Qawl al-Ĥatsîts, ulasan atas kitab Lubab al-Ĥadîts karya Imam Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, Mathba‘at Dâr Iĥyâ` al-Kutub al-‘Arabîyah, tt.
  • Sejarah
  1. Bughyat al-‘Awwâm, ulasan atas kitab Mawlid Sayyid al-Anâm karya Ibn al-Jawzî, Mesir: Mathba‘at al-Jadîdah al-‘Amîrah, 1297. Selesai 17 Safar 1294 H/1877 M.
  2. Al-Ibrîz al-Dânî Mawlid Sayyidinâ Muĥammad al-Sayyid al-‘Adnânî, Mesir: Hijr, 1299.
  3. Madârij al-Shu‘ûd ilâ Iktisâ` al-Burûd, Mesir: Mathba‘at Mushtafâ al-Bâbî al-Halabî, 1327. Mulai ditulis 18 Rabî‘ al-Awwal 1293 H/1876 M.
  4. Targhîb al-Musytâqîn, Makkah: Mathba‘at al-Mirîyah, 1311 H. Selesai Jum‘at, 13 Jumâdî al-Akhîr 1284 H/1867 M.
  • Bahasa
  1. Fatĥ al-Ghâfir al-Khaththîyah ‘alâ al-Kawâkib al-Jalîyah Nazhm al-Âjurûmîyah, Mesir: Bûlâq, 1298.
  2. Al-Fushûsh al-Yâqûtîyah, ulasan atas kitab al-Rawdhah al-Bahîyah al-Abwâb al-Tashrîfîyah karya ‘Abd al-Mun‘im ‘Iwadh al-Jirjâwî, Kairo: Mathba‘at al-Bahîyah, 1299.
  3. Kasyf al-Murûthîyah ‘an Sitâr al-Âjurûmîyah, ulasan atas kitab al-Âjurûmîyah karya Abû ‘Abd Allâh Muĥammad ibn Muĥammad ibn Dâwûd al-Shanhâjî ibn al-Âjurûm, Kairo: Mathba‘at Syarf, 1308.
  4. Lubab al-Bayân ‘Ilm al-Bayân, ulasan atas kitab Risâlât al-Isti‘ârât karya Syaikh Ĥusayn al-Nawawî al-Mâlikî, Kairo: Mathba‘at Muĥammad Mushthafâ, 1301. Selesai tahun 1293.
  5. Al-Riyâdh al-Qawlîyah, Mesir, 1299.
Untuk gambaran lebih lengkap tentang Syaikh Nawawi al-Bantani, lihat skripsi penulis di sini
»»  Baca selengkapnya...

Senin, 26 September 2011

Diaspora Bani Israel: Perjalanan Menuju Tanah yang Dijanjikan

Oleh: R. Mh. Zidni Ilman NZ, S.Fils


Perbudakan kejam Fir'aun atas Bani Israel sepertinya tidak akan pernah berakhir. Ia menanamkan sistem kerja paksa selama ratusan tahun dalam setiap proyek pembangunan kota Mesir Kuno. Hingga akhirnya, muncullah seorang juru selamat yang membebaskan mereka dari perbudakan dan kembali menempatkan Israel sebagai ras unggulan di muka bumi ini. Dialah Musa (Moses) sang Messias.

Peristiwa pembebasan ini didokumentasikan dalam al-Qur`an dalam beberapa ayat yang tersebar di berbagai tempat. Tidak hanya itu, al-Qur`an pun mengisahkan bagaimana perjalanan Bani Israel pasca-pembebasan menuju tanah yang dijanjikan. Perjalanan yang sangat merepotkan dan berujung pada konflik eksistensial berkepanjangan antara Israel dan Palestina.

Menyembah Berhala
Setelah berhasil menyeberangi lautan dalam usaha menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Fir'aun, Bani Israel bertemu dengan masyarakat pagan Mesir. Pertemuan ini mempengaruhi pemikiran dan melemahkan iman sejumlah orang dari mereka. Mereka sempat terbawa ajaran sesat kaum pagan itu sampai-sampai meminta Nabi Musa untuk membuat patung untuk disembah seperti halnya yang dilakukan oleh kaum pagan tersebut. Nabi Musa kemudian menjelaskan bahwa kaum itu adalah kaum terbelakang dan ajarannya akan dihancurkan oleh Allah. (QS. Al-A'raf [7] : 138-140)

Kemudian Bani Israel melanjutkan perjalanan menuju gunung Horeb. Menurut al-Qur`an, Allah telah mengadakan perjanjian dengan Bani Israel di sisi kanan gunung tersebut. Tidak sabar dengan janji Allah, Nabi Musa berangkat sendirian terlebih dahulu dan menyerahkan pengawasan kepada Nabi Harun. Beberapa hari setelah kepergian Nabi Musa, Bani Israil benar-benar terjerumus ke dalam paganisme dengan membuat patung anak sapi dari emas atas hasutan Musa al-Samiri, tokoh munafik mereka. Patung itu kemudian disembah layaknya tuhan, sedangkan Nabi Harun tidak bisa berbuat banyak.

Empat puluh hari kemudian, setelah Allah memberitahu penyimpangan kaumnya, Nabi Musa kembali dengan membawa 10 perintah dan larangan dari Allah yang tertulis pada lembaran (tabut) untuk diamalkan oleh Bani Israel (kitab Taurat). Melihat tingkah laku kaumnya, ia pun murka dan segera mengusir Samiri serta menghancurkan patung anak sapi emas tersebut. Lalu ia meminta Bani Israel untuk bertaubat dengan cara bunuh diri sesuai dengan syari'at Nabi Musa. Dengan cara itu, Allah pun bersedia mengampuni kesalahan mereka. (QS. Thaha [20] : 83-98)

Manna dan Salwa
Setelah meninggalkan Mesir, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memimpin kaumnya menuju tanah yang telah lama Ia janjikan kepada Nabi Ibrahim untuk Bani Israil. Maka perjalanan menuju ke tanah yang dijanjikan itu pun segera dimulai. Agar tidak kepanasan, Allah memayungi mereka dengan awan. Dan agar tidak kelaparan di tengah perjalanan, setiap hari mereka disuguhi dua macam makan yang langsung diturunkan dari surga; manna dan salwa. Akan tetapi lama kelamaan mereka mengeluh bosan dengan menu makanan yang itu-itu saja dan meminta makanan lainnya berupa sayur mayur, ketimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah.

Nabi Musa merasa heran dengan selera rendah kaumnya yang mengganti manna dan salwa dengan makanan biasa. Nabi Musa pun memberi pilihan bahwa jika memang demikian yang diinginkan maka pergi saja ke kota, karena di sana tersedia apapun yang mereka inginkan tadi. (QS. Al-Baqarah [2] : 61)

Tanah yang Dijanjikan
Sesampainya di tanah yang dijanjikan, Bani Israel tetap menunjukkan sikap membangkang dan keras kepala. Mereka tidak mau masuk karena di dalamnya terdapat kaum Kana'an yang memang sudah menetap di sana jauh sebelum kedatangan mereka. Meskipun dirayu agar mau masuk ke tanah tersebut, mereka tetap menolak sebelum kaum Kana'an diusir terlebih dahulu.

Namun anehnya, Bani Israel tidak mau mengusir dengan kekuatan mereka sendiri karena melihat postur orang-orang Kana'an yang tidak mungkin mereka kalahkan. Akhirnya mereka meminta Nabi Musa dan Tuhannya untuk melakukan pengusiran, sedangkan mereka hanya menunggu hasilnya saja.

Kali ini kemarahan Nabi Musa sampai pada puncaknya. Beliau berdoa agar hubungannya dengan kaumnya tersebut diakhiri saja sampai di sini. Tidak hanya Nabi Musa, Allah pun murka lalu melarang Bani Israel untuk memasuki tanah yang dijanjikan itu selama 40 tahun lamanya. Dengan larangan itu, Bani Israel berpencar dan berkeliaran tak tentu arah di tengah padang pasir tanpa tanah air yang disebut dengan diaspora. (QS. Al-Ma`idah [5] : 25-26)
»»  Baca selengkapnya...

Empat Pertanyaan yang Harus Dihindari: Menyempurnakan Iman di Zona Aman

Oleh: R. Mh. Zidni Ilman NZ, S.Fils


Tuhan merupakan entitas yang sulit dianalisa secara rasional, terlebih lagi jika ingin dibuktikan secara empiris. Akal dan panca indera manusia memang terbatas, namun rasa ingin tahu manusia tak bisa dibendung hingga seringkali mengabaikan keterbatasannya. Ketika dunia berhasil ditaklukkan, ia pun mencoba untuk menaklukkan Tuhan dengan pandangan-pandangan yang lebih tepat disebut dengan asumsi belaka, mungkin juga retorika.

Sebenarnya, Tuhan tidak tinggal diam. Ia tahu akan kelemahan manusia memahami hakikat-Nya. Oleh karenanya, Ia sendiri yang berinisiatif memperkenalkan diri-Nya dalam bentuk wahyu yang dibawa oleh para utusan (rasio) dan mengejawantahkan dirinya dalam setiap ciptaan (empiris). Setiap wahyu (baca: kitab suci) yang turun selalu disertai dengan deskripsi tentang siapa dan bagaimana sebenarnya Tuhan, Sang Pencipta alam semesta. Hanya saja, konsep ketuhanan yang terkandung di dalamnya, lagi-lagi, disesuaikan dengan kondisi manusia yang serba terbatas.

Namun, sekian ratus ribu ayat al-Qur'an dan hadits rasul sepertinya tidak bisa mengendalikan pikiran liar manusia dalam menjelajahi eksistensi-Nya. Pertanyaan mendasar bermunculan. Tetapi diantara pertanyaan-pertanyaan tersebut, banyak diantaranya bisa mengakibatkan kebingungan, paradoks, guncangan, bahkan kekufuran. Hal itu dikarenakan manusia itu sendiri yang seringkali terjerumus ke dalam antropomorfisme, yakni mendekati Tuhan dengan persepsi manusia yang notabene terikat oleh ruang dan waktu.

Di sisi lain, manusia dituntut untuk mengenali Tuhannya. Karena dengan mengenali Tuhan, manusia diyakini dapat menjalani kehidupannya dengan baik. Bahkan ilmu ketuhanan (teologi, aqidah) merupakan ilmu yang pertama kali wajib dipelajari oleh seluruh umat Islam sebelum mempelajari cabang ilmu lainnya. Dalam aqidah Islam, Tuhan dieksplorasi sedemikian rupa sesuai dengan landasan dalil naqli dan 'aqli yang qath'i. Namun sekali lagi jangan lupa bahwa manusia tetaplah manusia yang memiliki banyak kelemahan. Tidak semua pertanyaan dapat terjawab, bahkan tidak semua pertanyaan dapat dilontarkan begitu saja.

Syaikh Nawawi al-Bantani, seorang ulama terkemuka dari Banten, menuturkan dalam kitabnya, Syarh Kaasyifat al-Sajaa 'alaa Safiinat al-Najaa, bahwa ada empat pertanyaan berkenaan dengan Tuhan yang harus dihindari oleh manusia karena semuanya dapat melempar manusia ke dalam jurang kekufuran. Empat pertanyaan tersebut adalah: di mana, bagaimana, kapan, dan berapa. Di mana Allah berada? Bagaimana keadaan-Nya, kapan Ia ada, dan berapakah jumlah-Nya?

Masing-masing pertanyaan tersebut tidak boleh dikemukakan agar manusia tetap berada di zona aman. Akan tetapi jika ternyata ada orang yang bertanya demikian, maka Syaikh Nawawi sudah memberikan jawaban yang bisa diterima. Pertanyaan dan jawabannya adalah sebagai berikut:

1. Di mana Allah berada? Ia tidak bertempat di mana-mana dan sama sekali tidak tersentuh oleh waktu.
2. Bagaimana keadaan-Nya? Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-nya.
3. Kapan Ia ada? Ia adalah awal tanpa permulaan dan juga akhir tanpa penghabisan.
4. Berapa jumlah-Nya? Ia hanya satu tetapi bukan dalam hitungan matematis (tunggal, esa).

Itulah keempat pertanyaan yang harus dihindari sekaligus jawaban yang harus diberi. Dengan meninggalkan (tidak mempertanyakan)nya, lanjut Syaikh Nawawi, maka iman seseorang menjadi sempurna.
»»  Baca selengkapnya...

Jumat, 23 September 2011

Tugas Utama Seorang Cendikia: Menampilkan Wajah Islam Kaffah


Oleh: R. Mh. Zidni Ilman NZ, S.Fils



Asumsikan bahwa saat ini Anda tengah duduk melingkar bersama beberapa orang teman Anda sambil mengamati sebuah buku, misalnya. Lalu masing-masing dari mereka diminta untuk menjelaskan dan menilai mengenai apa yang dilihatnya.

Tentunya masing-masing memiliki pendapat yang bervariasi dan berbeda satu sama lain. Si A yang melihat dari arah depan akan mengatakan bahwa buku tersebut berbentuk persegi panjang berwarna hijau dengan judul besar dan berbagai hiasan. Sedangkan si B yang melihat di bagian samping akan menyangkal pendapat si A tadi dan berpendapat bahwa buku tersebut berbentuk balok dengan tulisan judul yang lebih kecil. Lain lagi bagi si C yang melihat dari atas. Ia akan mengatakan bahwa buku itu berwarna putih tanpa tulisan dan hiasan apapun. Jika Anda melihat dari belakang dan arah lainnya, maka Anda akan mempunyai penilaian yang berbeda pula.

Perbedaan pendapat itu sangat wajar dan sering terjadi mengingat masing-masing orang mengamati objeknya dengan sudut pandang yang berbeda. Dan jangan lupa bahwa latar belakang dan profesi seseorang juga dapat mempengaruhi hasil penilaian. Seorang penulis akan memuji habis-habisan kualitas isi buku tersebut, seorang penerbit memandangnya sebagai suatu peluang bisnis yang sangat menguntungkan, seorang ahli desain grafis hanya sibuk menilai seberapa menarik kemasannya, sedangkan bagi anak kecil  benda itu sama sekali tidak berguna dan lebih asyik untuk dijadikan sebagai alat bermain. Lalu, siapa yang benar? Semuanya benar, karena memang demikianlah yang mereka lihat. Namun, sayangnya perbedaan pendapat tersebut terkadang memunculkan sikap saling menyalahkan satu sama lain dan tidak tertutup kemungkinan berlanjut dengan perkelahian. Bahkan, dalam konteks agama, adalah dengan saling mengkafirkan sesama muslim.

Oleh karena itu, perlu kiranya untuk segera dicari jalan keluarnya agar masing-masing pihak dapat menerima perbedaan ini. Sekurang-kurangnya ada tiga cara yang dapat dilakukan; pertama, dialog. Cara ini dianggap jitu untuk mengetahui sejauh mana pandangan yang dikemukakan oleh seseorang itu benar adanya disertai dengan argumentasi yang kuat dan meyakinkan. Dialog ilmiah, lebih tepatnya, merupakan sarana komunikasi efektif yang biasa dilakukan oleh kalangan terpelajar. Kedua, tukar tempat. Pertukaran tempat yang dimaksudkan di sini adalah bahwa masing-masing pihak mencoba untuk melihat dan mendalami suatu persoalan dengan sudut pandang dan pendekatan yang dilakukan oleh pihak lain, sehingga si A dapat mengetahui dengan jelas bahwa memang seandainya objek tersebut dilihat dari sudut pandang si B, maka akan memberikan gambaran yang berbeda.

Sedangkan cara terakhir adalah dengan tampilnya seseorang ke tengah-tengah mereka untuk memutar-mutarkan buku tersebut dan memperlihatkan seluruh bagiannya secara mendetail kepada tiap-tiap orang yang hadir di sana satu persatu. Dengan cara demikian, maka si A, si B, si C, dan lainnya tidak hanya memiliki satu perspektif saja, melainkan multi-perspektif. Dan seseorang yang dimaksud adalah kaum cendikia dan para alim ulama. Kehadiran mereka diharapkan dapat meredakan kekisruhan ideologis yang terjadi di tengah masyarakat, karena memang sudah menjadi tugas utama mereka untuk menjelaskan suatu persoalan secara komprehensif kepada masyarakat itu sendiri.

Dalam konteks Islam, itulah yang disebut dengan Islam Kaffah, yakni Islam yang ditinjau dari berbagai sudut pandang (perspektif, aspek), entah itu sosiologis, antropologis, geografis, politis, ekonomi, kultural, dan lain sebagainya, baik melalui jalur fiqh, tasawuf, filsafat, teologi, atapun lainnya. Ini penting dilakukan agar pemahaman masyarakat terhadap Islam semakin luas dan luwes. Dengan begitu, mereka akan hidup rukun, saling mengisi, dan tentunya lebih bijak dan tidak mudah saling menyalahkan.

Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, ada beberapa poin penting yang harus dicatat:
1. Setiap persoalan memiliki sudut pandang yang berbeda.
2. Berbeda sudut pandang, berbeda pula pendapatnya.
3. Latar belakang dan profesi ikut berperan dalam suatu penilaian.
4. Jangan mudah menyalahkan pendapat orang lain.
5. Diskusikan berbagai pendapat tersebut dengan membentuk forum diskusi, seminar, bedah buku, atau membuat artikel.
6. Jangan hanya terpaku di satu sudut pandang, pergi dan coba gunakan sudut pandang yang sama dengan lawan bicara kita. Begitu juga sebaliknya, ajak dia untuk melihat dari sudut pandang kita.
7. Seorang cendikia atau ulama dituntut untuk dapat memberi pencerahan kepada masyarakat dengan menampilkan beragam warna dan corak keilmuan, sehingga setiap persoalan yang muncul akan senantiasa disikapi dengan bijak.
8. Islam Kaffah adalah Islam komprehensif, yakni wajah Islam yang ditinjau dari berbagai perspektif dengan pendekatan multi-disipliner.
»»  Baca selengkapnya...

Sabtu, 17 September 2011

Doxa yang Terzhalimi di Tengah Polemik Dua Persepsi

Oleh: R. Mh. Zidni Ilman NZ, S.Fils


Manusia adalah makhluk yang berfikir. Secara kodrati, makhkuk dinamis ini senantiasa berfikir mengenai apapun yang dihadapinya. Mengamati, memahami, menghayati, mengkaji, dan menilai sangat melekat pada diri manusia. Jika menghadapi meja, maka aktifitas berfikirnya secara otomatis langsung bekerja. Mulai dari pertanyaan yang paling sederhana hingga yang kompleks sekalipun. Benda apa itu? Terbuat dari apa? Siapa yang membuatnya dan bagaimana cara membuatnya? Mengapa ia dibuat? Untuk apa dan untuk siapa? Bagus atau jelek? Baik atau buruk? Dan seterusnya, dan seterusnya. Pertanyaan yang sama akan terlintas saat ia menemukan objek lainnya. Demikianlah manusia, mengkaji dan terus mengkaji sedalam mungkin tanpa henti.

Sebagai objek kajian, meja disebut dengan "doxa". Begitu pula objek kajian lainnya. Bila sedang mengamati atau mengkaji sebuah pohon, maka pohon itu disebut doxa. Sama halnya ketika mengamati buku, pulpen, kursi, atau objek abstrak semisal konsep keadilan, demokrasi, agama, bahkan Tuhan sekalipun, maka pada saat itu buku, pulpen, kursi, keadilan, demokrasi, agama dan Tuhan berstatus doxa. Sedangkan pengamatan dan penilaian manusia itu sendiri disebut dengan "persepsi".

Dari sini muncullah dua kelompok besar yang mencoba mendekati objeknya dengan berbagai macam pendekatan dan teori. Kelompok pertama disebut dengan "Orthodoxy", yaitu kelompok yang secara tepat dan benar menggambarkan doxa sebagaimana adanya. Sedangkan pengamatan kelompok lainnya melenceng dari doxa, mereka itulah yang dikenal dengan sebutan "Heterodoxy".

Kaum Orthodoxy menganggap diri mereka ortodox dan menganggap orang lain sebagai heterodox. Sebaliknya, kaum Heterodoxy merasa dirinyalah yang ortodox dan justru pihak lain yang heterodox. Masing-masing mempertahankan persepsinya terhadap suatu doxa sekaligus menyalahkan persepsi lawannya. Bantahan ini dibantah lagi dengan persepsi berikutnya, sehingga muncul bantahan berikutnya. Lingkaran dialetika ini terus berlanjut tak berujung.

Apa Kabar Doxa?
Mengantisipasi persoalan ini, para filosof berusaha sekuat tenaga untuk menemukan formulasi yang tepat agar kita tidak larut dalam dunia persepsi dengan membiarkan doxa itu sendiri untuk berbicara. Sebagai contoh, sebut saja Fenomenologi. Pendekatannya terhadap suatu objek dianggap yang paling berhasil diantara pemikiran-pemikiran lainnya. Aliran filsafat yang diusung Edmund Husserl ini mencoba memaksa objek tersebut untuk mengatakan sendiri identitas yang sebenarnya tanpa pengaruh dari unsur manapun. Pada langkah awal, pengamatan seorang fenomenolog tampaknya menuai hasil, namun sayang pada tahap berikutnya ia kembali terlilit pada pusaran yang sama, terutama setelah ada orang lain yang membantah hasil pengamatan tersebut hingga perang persepsi antar keduanya kembali tak terhindarkan.

Kedua kelompok terlihat asyik dengan polemik ini. Dalam khazanah keilmuan Islam, seringkali kita melihat pertentangan antara Asy'ariyyah dan Mu'tazilah, Qadariyyah dan Jabariyyah, dan yang terbesar adalah antara Sunni dan Syi'ah, ditambah lagi dengan kehadiran Wahabi, Ahmadiyyah, dan aliran Islam lainnya. Sedangkan doxa -dalam hal ini Islam- hanya diam. Polemik berkelanjutan ini membuat doxa semakin terzhalimi dan tak tersentuh sama sekali, hingga akhirnya menepi lalu menghilang begitu saja. Itulah yang sebenarnya terjadi di ranah pemikiran di belahan dunia manapun. Tidak ada doxa, yang ada hanyalah persepsi.



Penutup dan Kesimpulan
Dalam hal ini, setiap orang pasti ingin menjadi seorang ortodox. Persoalannya adalah, siapa yang tahu di posisi mana sekarang ia berada, Orthodoxy atau Heterodoxy dan apa pula parameternya? Sekali lagi, siapa yang tahu? Tidak ada! Satu-satunya yang tahu hanyalah Yang Mahatahu. Untuk itu, berhati-hatilah dalam mempersepsikan sesuatu. Berusahalah menghormati dan menghargai pendapat serta persepsi orang lain dan jangan terlalu mudah untuk menyalahkannya. Karena siapa tahu Anda adalah seorang heterodox yang sebenarnya.
»»  Baca selengkapnya...

Kamis, 15 September 2011

Qa'idah I'lal yg Janggal: Telaah Kritis atas Kitab Qawā'id al-I'lāl fi al-Sharf Karya Mundzir Nadzir

Oleh: R.Mh. Zidni Ilman NZ, S.Fils


Bagi para peminat Nahwu Shorof mungkin tidak asing lagi dengan kitab Qawā'id al-I'lāl fi al-Sharf karya Kyai Mundzir Nadzir asal Sekaran, Ngronggot, Kertosono. Kitab ini menjadi rujukan di beberapa pesantren di Indonesia, selain karena ringkas (hanya berisi 19 kaidah dengan sedikit tambahan), pembahasannya pun tidak terlalu rumit sehingga mudah dipelajari. Terlebih lagi karena di sana terdapat keterangan berbahasa jawa yang memudahkan para pembacanya yang berasal dari Jawa seperti saya ini.

Saya sendiri sudah bersentuhan dengan kitab mini tersebut lebih dari 17 tahun lamanya, baik sebagai pelajar maupun pengajar. Sungguh menyenangkan mengetahui bagaimana proses sebuah pola kalimat terbentuk berikut alasan-alasannya. Namun beberapa tahun belakangan, setelah saya menjadi pengajar, muncul beberapa kejanggalan yang saya dapati di dalamnya, salah satunya terdapat pada qa'idah i'lal nomor tiga yang berbunyi:

إِذَا وَقَعَتِ الْوَاوُ وَالْيَاءُ بَعْدَ أَلِفٍ زَائِدَةٍ أُبْدِلَتْ هَمْزَةً بِشَرْطِ أَنْ تَكُوْنَا عَيْنًا فِي اسْمِ فَاعِلٍ وَطَرَفًا فِيْ مَصْدَرٍ نَحْوُ صَائِنٍ وَسَائِرٍ وَكِسَاءٍ وَبِنَاءٍ أَصْلُهَا صَاوِنٌ وَسَايِرٌ وَكِسَاوٌ وَبِنَايٌ

Dalam qa'idah tersebut, kurang lebih dikatakan bahwa wawu atau ya harus diganti dengan hamzah apabila keduanya jatuh setelah alif tambahan, baik ketika menjadi 'ain fi'il pada isim fa'il maupun ketika berada di ujung mashdar.

Sekilas qa'idah ini tidak bermasalah, namun jika kita cermati lebih dalam pada kalimat "عَيْنًا فِي اسْمِ فَاعِلٍ" maka kejanggalan akan segera muncul. Dari redaksinya, secara pasti dapat disimpulkan bahwa qa'idah tersebut berlaku bagi seluruh isim fa'il yang mengandung alif tambahan yang kemudian diikuti oleh wawu atau ya. Dan sebagaimana diketahui bahwa isim fa'il memiliki pola kalimat yg sangat variatif, seperti فَاعِلٌ - مُفْعِلٌ - مُفْتَعِلٌ - مُفَاعِلٌ - مُسْتَفْعِلٌ, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak pola isim fa'il, hanya tiga diantaranya yang mengandung alif tambahan, yakni فَاعِلٌ - مُفَاعِلٌ - مُتَفَاعِلٌ.


Sekarang, mari kita buktikan! Seandainya kita men-tashrif lafaz قَامَ - بَاعَ - قَاوَمَ - بَايَعَ - تَقَاوَمَ - تَبَايَعَ , maka hasilnya adalah sebagai berikut:

قَامَ - يَقُوْمُ - قِيَامًا - فهو قَائِمٌ
بَاعَ - يَبِيْعُ - بَيْعًا - فهو بَائِعٌ
قَاوَمَ - يُقَاوِمُ - مُقَاوَمَةً - فهو مُقَاوِمٌ
بَايَعَ - يُبَايِعُ - مُبَايَعَةً - فهو مُبَايِعٌ
تَقَاوَمَ - يَتَقَاوَمُ - تَقَاوُمًا - فهو مُتَقَاوِمٌ
تَبَايَعَ - يَتَبَايَعُ - تَبَايُعًا - فهو مُتَبَايِعٌ


Di sinilah letak kejanggalannya, dimana wawu dan ya pada isim fa'il pertama dan kedua memang berubah menjadi hamzah, namun kedua huruf itu tetap ada dan tidak berubah sama sekali pada isim fa'il lainnya. Pada empat contoh terakhir jelas sekali terlihat bahwa wawu dan ya di sana tidak diganti dengan hamzah, meskipun keduanya jatuh setelah alif tambahan pada isim fa'il. Atau dengan kata lain semua kalimat tersebut sebenarnya sudah memenuhi syarat yang diajukan dalam qa'idah tiga. Jika ingin konsisten dengan peraturan yang ada, maka seharusnya berbunyi مُقَائِمٌ - مُبَائِعٌ - مُتَقَائِمٌ - مُتَبَائِعٌ. Namun kenyataannya tidak demikian.

Saya pun sempat dibuat bingung dengan qa'idah ini, bahkan merasa khawatir apabila ada yang menanyakan persoalan itu sementara saya belum menemukan jawabannya. Oleh karenanya, kejanggalan ini perlu segera dituntaskan agar saya tidak selalu dihantui oleh kekhawatiran kala memberikan materi pelajaran qawa'id al-i'lal. Sempat terfikir oleh saya untuk menggati kitab tersebut dengan kitab lain. Akan tetapi cara demikian hanya sekedar menghilangkan perasaan khawatir saja, sedangkan naluri rasa ingin tahu sekaligus beban moralitas intelektual saya akan tetap berkeliaran.

Setelah sekian lama, akhirnya sekitar dua tahun yang lalu saya menemukan sebuah literatur nahwu (saya lupa namanya) yang juga berbicara tentang perubahan wawu dan ya menjadi hamzah karena jatuh setelah alif tambahan. Di sini dikatakan bahwa wawu atau ya diganti dengan hamzah apabila jatuh setelah alif tambahan pada isim fa'il dari fi'il tsulatsi mujarrod. Sekilas qa'idah ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Mundzir Nadzir. Namun bagi saya qa'idah tersebut jauh lebih memuaskan. Tambahan kalimat "fi'il tsulatsi mujarrod" cukup signifikan dan mengena mengingat seluruh isim fa'il dari fi'il tsulatsi mujarrod hanya memiliki satu pola yang sama, yakni فَاعِل! Dengan demikian wazan مُفَاعِلٌ dan مُتَفَاعِلٌ pun mundur teratur.

Yesss!! Ini dia jawaban yang selama ini saya cari. Tapi persoalannya belum berhenti sampai di sini. Bagaimana dengan qa'idah ketiga milik Mundzir Nadzir tadi?? Pertanyaan dilematis kembali menyeruak. Haruskah saya mencari kitab lain sebagai materi pelajaran, padahal saya masih ingin terus menggunakannya. Jika iya, maka berarti saya akan kehilangan kitab yang selama ini setia menemani saya selama bertahun-tahun dan secara tidak langsung menunjukkan kepengecutan saya dalam menghadapi tantangan intelektual ini. Setelah berfikir cukup lama, akhirnya saya menemukan solusinya. Saya mencoba memberanikan diri untuk melakukan sedikit perubahan dengan mengganti kalimat "عَيْنًا فِي اسْمِ فَاعِلٍ" yang berarti "ain fi'il pada isim fa'il" menjadi "عَيْنًا فِي فَاعِلٍ" (tanpa kata اسْمِ) yang berarti "ain fi'il pada wazan فَاعِل". Perubahan ini semata-mata saya lakukan demi kecintaan saya pada kitab Qawā'id al-I'lāl fi al-Sharf tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat dan ta'zhim saya kepada penulisnya, Kyai Mundzir Nadzir. Mudah-mudahan beliau meridhoi apa yang sudah saya lakukan ini. Amin.

Satu kata, BINGO!
»»  Baca selengkapnya...

Komentar