Photobucket

Laman

Sabtu, 08 Oktober 2011

Meruntuhkan Hegemoni Sosio-Ekonomi Quraisy

Oleh: R. Mh. Zidni Ilman NZ, S.Fils


Saat Muhammad diangkat menjadi rasul, Makkah merupakan pusat perekonomian dengan penghasilan yang cukup signifikan. Aktifitas perdagangan dari barat ke timur dan utara ke selatan ataupun sebaliknya pasti akan melintasi daerah ini. Di sanalah rombongan kafilah singgah untuk beristirahat serta melakukan ritual dan ibadah keagamaan, terutama haji dan ziarah ke baitullah, baik saat keberangkatan maupun kepulangan mereka.

Untuk mengakomodir kebutuhan spiritual para pemeluk agama, penduduk Makkah pun sengaja menyediakan ratusan berhala dan simbol-simbol suci dari berbagai agama dan kepercayaan, samawi atau non-samawi. Hal tersebut bernilai ekonomis, karena setiap kafilah yang masuk dan menikmati fasilitas akan dikenakan biaya dengan jumlah tertentu. Belum lagi dengan ibadah haji yang setiap tahunnya mendatangkan devisa yang berlimpah. Tak pelak, semua ini benar-benar menjadi ladang subur bagi perekonomian Makkah.

Kondisi demikian berlangsung hingga masa kerasulan Nabi Muhammad yang diutus untuk menegakkan kalimat tauhid, yakni "tiada Tuhan selain Allah". Sebenarnya masyarakat setempat tidak pernah meresahkan segala akivitas yang dilakukan Muhammad. Mereka yakin bahwa Muhammad tidak akan berbuat sesuatu yang macam-macam dan membiarkannya melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan barunya tersebut. Apalagi pada dasarnya mereka sudah mengenal konsep tersebut sejak ratusan tahun sebelumnya. Sebagai pusat lalu lintas perdagangan, secara otomatis Makkah juga menjadi pusat informasi. Setiap kafilah yang datang akan membawa seluruh kabar yang terjadi di daerah masing-masing, termasuk seputar ajaran keagamaan.

Intinya, masyarakat Makkah sudah tidak asing lagi dengan monotheisme. Yahudi, Nasrani, Agama Hanif, Majusi, bahkan paganisme sendiri sebenarnya meyakini ada satu Tuhan. Hanya saja perbedaannya terletak pada penamaan mereka kepada Tuhan dan aplikasi ajarannya. Oleh karenanya pada awal kemunculan Muhammad, mereka tidak mempersoalkannya sama sekali. Materi khutbah yang diberikan Muhammad ke setiap kafilah yang datang dianggap sebagai materi yang sudah lumrah.

Namun, lama kelamaan mereka merasakan dampak dari ajaran Muhammad ini. Dari hari ke hari, lambat laun jumlah peziarah semakin berkurang. Ajaran Muhammad benar-benar berpengaruh terhadap pola pikir para pendengarnya. Apalagi yang mengatakannya adalah sosok yang dikenal dengan kejujuran, kecerdasan, serta perilaku terpuji lainnya sejak dari masa anak-anak hingga dewasa. Kalimat tiada Tuhan selain Allah secara tidak langsung menyatakan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Dengan demikian setiap orang harus beribadah langsung ke Tuhannya tanpa memerlukan perantara apapun dan dapat dilakukan dimanapun ia berada. Karena itu, mereka sudah tidak memiliki kepentingan apa-apa lagi untuk singgah ke Makkah. Mereka tidak perlu berhala dan Ka'bah lagi untuk beribadah.

Penurunan jumlah peziarah itu sama artinya dengan berkurangnya pendapatan kota Makkah. Di sisi lain, pengaruh serta kewibawaan Quraisy pun semakin terkikis. Dampak sosio-ekonomi inilah yang akhirnya menyulut perlawanan keras dari masyarakat Makkah. Mereka tidak takut kehilangan pemeluk agama, yang mereka khawatirkan adalah kehilangan materi dan jabatan. Itulah yang sesungguhnya menjadi sasaran utama pada permualaan dakwah Muhammad. Baginya, untuk memperlancar tugas kerasulan ia harus dapat mengimbangi kekuatan sosial dan ekonomi suku Quraisy. Ketika hal itu belum memungkinkan, maka satu-satunya jalan adalah dengan cara meruntuhkannya.

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar