Photobucket

Laman

Minggu, 09 Oktober 2011

Daur Teologi Sosial dalam Misi Kenabian: dari Refleksi Menuju Aksi


Oleh: R. Mh. Zidni Ilman NZ, S.Fils


Kata pertama di ayat pertama dari wahyu pertama tidak bisa diartikan secara sederhana. Iqra`! Bacalah! Bagi kita, mungkin kata itu hanyalah sebuah kata biasa. Tetapi di hadapan orang dengan kecerdasan luar biasa seperti Nabi Muhammad, kata tersebut diterima dengan berjilid-jilid makna yang terkandung di dalamnya. Ia menggunakan kata tersebut sebagai titik tolak sekaligus rumusan dalam upayanya melakukan rekonstruksi fundamental-komprehensif.

Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, iqra` terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Iqra` berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun tidak. Alhasil, objek perintah iqra` mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya (Wawasan al-Qur`an).

Misi Kenabian
Lalu apa yang dibaca oleh Muhammad? Langkah pertama yang ia lakukan adalah analisa struktural. Ia mencoba memahami betapa pentingnya peranan berhala (Hubal, Mannat, Lata, Uzza) bagi masyarakat pagan kala itu. Betapa Ka’bah, sumur Zamzam, Maqam Ibrahim, dan situs-situs lainnya dapat mendongkrak perekonomian mereka. Ia juga paham betul bahwa suku Quraisy dan para pemukanya sangat disegani dan berpengaruh dalam membentuk tatanan kehidupan masyarakat kesukuan di wilayah Makkah dan sekitarnya. Semua itu ia analisa dengan tajam, tanpa mengabaikan pengamatannya pada entitas lainnya yang berada pada lapisan kedua dan seterusnya, seperti halnya suku-suku non-Quraisy, agama Hanif, kaum perempuan, perdagangan, perbudakan, kesusastraan, komunitas keagamaan (Yahudi, Nasrani, Majusi, dan lainnya), serta imperium Romawi dan Persia, berikut karakteristik dan sejarah yang melatarbelakangi semuanya.

Ternyata, ia mendapati banyak sekali kesalahan dan penyimpangan di tengah-tengah masyarakatnya. Ia sadar bahwa kebodohan dan kezhaliman mereka telah melampaui batas. Dari sini, muncullah keprihatinan dan tekad kuatnya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, akal sehat dan niat baik saja tidaklah cukup. Ia butuh bimbingan dari Tuhan agar memiliki landasan argumentasi serta bukti-bukti meyakinkan akan kerasulan dan ajarannya. Lebih tepatnya, ia butuh justifikasi teologis. Ia hanya ingin menyampaikan apa yang benar menurut kacamata Tuhan, dan bukan menurut hawa nafsunya.

Menyampaikan kebenaran dan melakukan perubahan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Muhammad sudah memprediksi sebelumnya bahwa sebagian besar masyarakat akan secara tegas menolak mentah-mentah dan membantah habis-habisan apapun yang disampaikannya nanti. Karakteristik mereka yang keras dan keteguhan dalam memegang ajaran leluhur menjadi duri penghalang misi risalahnya. Tetapi ia tetap tegar dan optimis. Bagaimana tidak? Ia memiliki seorang Khadijah, istri yang cukup terpandang, setia, serta rela berkorban baik nyawa maupun harta. Selain itu, ia sendiri berasal dari keluarga Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib yang merupakan dua komunitas elit dalam internal suku Quraisy. Dukungan dari mereka sangat penting dan menguntungkan.

Di sisi lain, Muhammad menyadari bahwa kekuatan fisik, mental, maupun materi barisannya belum tentu dapat mengimbangi kekuatan yang dimiliki pihak lain yang berseberangan dengannya. Untuk itu, ia perlu melihat apa, bagaimana, dan siapa saja yang harus didekati. Isu-isu semisal kesetaraan ras, pengangkatan derajat wanita, dan sebagainya akan menarik banyak perhatian terutama di kalangan budak, wanita, dan kaum marginal lainnya. Ada beberapa celah lagi yang dilihat oleh Muhammad untuk memperkokoh dan mempermudah jalan dakwahnya, salah satunya adalah apabila ia mampu menarik dua ‘Umar, yakni ‘Umar ibn al-Khotthob dan ‘Umar ibn Hisyam (Abu Jahl), atau minimal salah satunya untuk memeluk agama Islam. Tidak hanya itu, Muhammad juga mewaspadai setiap gerakan sekecil apapun yang mungkin dapat menghambat proyek besarnya tersebut. Hasutan, cemoohan, hingga ancaman pembunuhan pasti akan terus menghantui kesehariannya. Pada dasarnya, ia tahu bahwa ia sedang bermain api dan resiko yang dihadapinya tidaklah ringan.

Setelah mengantongi sekian banyak catatan dan dengan penuh perhitungan akurat, Muhammad memberanikan diri untuk melancarkan misinya sedikit demi sedikit. Dimulai dari istri, keluarga dekat, tetangga, teman, hingga akhirnya melebar dan terus meluas melewati batas-batas geografis dan kultural. Ketika satu misi berhasil ditempuh, maka ia akan mengevaluasi kinerjanya sekaligus mengamati dan mengontrol setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi setelahnya sebagai landasan untuk aksi selanjutnya.

Daur Teologi Sosial
Dari paparan di atas, dapat kita lihat bagaimana pola dakwah Nabi Muhammad begitu sistematis. Oleh karenanya, sebagai agen perubahan (agent of change), yang harus dilakukan pertama kali adalah “refleksi sosial” dengan analisis sosial, personal, sejarah, dan kultural. Refleksi ini akan melahirkan kesadaran dan keprihatinan yang akhirnya mendorong hati nurani untuk melakukan perubahan. Kedua, membangun landasan epistemologi secara rasional-empiris (‘aqli) berikut argumentasi teks al-Qur`an dan al-hadits (naqli) yang menghasilkan “sintesis teologis”.

Langkah ketiga adalah menyusun “rencana tindakan” dengan menggunakan analisis KeKePAN (Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman), atau lebih dikenal dengan istilah SWOT (StrengthWeaknessOpportunitiesand Threat). Keempat, aksi. Dan yang terakhir adalah “evaluasi”. Evaluasi itu sendiri dilaksakanan dengan kembali melakukan “refleksi sosial” seperti semula. Dengan kata lain, seorang agen perubahan akan senantiasa melakukan daur teologi sosial tersebut secara terus menerus tanpa henti. Refleksi berujung pada aksi, dan aksi akan diikuti oleh refleksi berikutnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar