Photobucket

Laman

Senin, 14 November 2011

Program Sahabat Jauh: Numpang Akting di AstroTV

Republika: Sabtu, 09 Februari 2008


Pagi itu Prahara akan menjenguk dua orang sahabat jauhnya di Pondok Buntet Pesantren yang terletak sekitar 45 menit dari Kota Cirebon, Jawa Barat. Layaknya teman yang lama tak jumpa, Prahara pun terlihat sangat berbahagia bertemu Zidni yang mengenakan sarung, baju koko, dan berkopiah ketika menyambutnya di depan sebuah rumah di komplek asrama Pondok Pesantren Buntet. ''Assalamualaikum, apa kabar sahabat,'' ujar Prahara pada Zidni.

''Waalaikumussalam, alhamdulillah kabarku baik,'' jawab Zidni. Pertemuan sederhana itu adalah sepenggal adegan program Sahabat Jauh garapan rumah produksi Double Vision yang akan tayang di Astro Oasis. Kali ini untuk edisi Cirebon, Sahabat Jauh sudah memasuki episode 45 dari 52 epiosde yang akan diproduksi.

Seperti namanya, tayangan selama 30 menit setiap hari Jumat yang dimulai pukul 21.00 WIB ini memang mengambil tema sahabat. Para sahabat yang muncul pun sahabat yang cukup spesifik, yaitu sahabat yang mondok di pesantren-pesantren yang ada di sekitar Pulau Jawa. ''Untuk 52 episode ini kami memang fokus ke daerah sekitar Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta kawasan lain seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi,'' ujar di sela-sela shootingyang berlangsung di Pondok Buntet Pesantren itu.

Dalam proses pengambilan adegan kali ini, sejumlah kegiatan unik di Pondok Buntet Pesantren masuk juga dalam episode ke-45 ini. Seperti kegiatan memandikan jenazah yang menjadi salah satu mata pelajaran pokok di pesantren ini. ''Meski tak selalu memandikan jenazah, di pesantren ini kegiatan tersebut sudah menjadi kebiasaan dan setiap siswa bisa melakukannya,'' ujar Zidni yang berperan menjadi sahabat Prahara kali ini.

Ganti Kostum
Dalam kisah ini, Prahara adalah seorang mahasiswa yang sedang berkelana menggunakan berbagai jenis alat transportasi. Sebagian besar, ujar Yudi Agustia selaku asisten produser, menggunakan transportasi umum seperti bus maupun mobil kecil yang khas ala mahasiswa.

Tapi, alat transportasi seperti becak atau ojek turut digunakan Prahara untuk menjangkau pesantren yang akan ia tengok. ''Ya terkadang pesantren yang kita tuju tak dilewati angkutan umum. Jadilah, becak atau ojek yang kita pakai sebagai alat transportasi Prahara,'' ujar Yudi.

Untuk perannya ini, Prahara yang datang dengan pakaian kasual seperti celana jeans, kaos, dan jaket pun harus berganti kostum untuk menyesuaikan. Seketika, pakaian yang ia simpan dalam ransel seperti sarung, baju koko, dan kupluk langsung dikenakan.

Untuk menyiasati pergantian pakaian host agar tak terlihat kaku, tim kreatif biasanya mengganti pakaian Prahara bersamaan dengan waktu shalat seperti saat Dzuhur atau shalat Jumat. ''Saya biasanya berganti baju ketika akan shalat Dzuhur,'' papar Prahara. Dengan sarung dan baju koko inilah, Prahara membawakan acara selama di dalam pesantren.

Sosok Prahara dianggap pas sebagai host dengan alasan khusus. ''Kami memang memilih host laki-laki karena faktor fleksibilitas,'' tutur Henry.

Bagi Henry, ada kemudahan tersendiri bila host acara ini berjenis kelamin laki-laki di antaranya keleluasaan ketika memasuki kawasan pesantren.

Selain itu, host yang memiliki tinggi 177 sentimeter ini dianggap memiliki latar belakang yang cukup sebagai host acara religius. Terlebih, Prahara terbilang sangat kooperatif dengan citra pribadi yang baik, serta penguasaan keislaman yang cukup.

Selama shooting, Prahara sendiri mengaku tidak mengalami kesulitan berarti. Pengalaman menjadi host sebuah tayangan infotainment dan juga menjadi pemeran dalam sejumlah sinetron boleh jadi amat membantu beradaptasi di depan kamera.

Justru Prahara sempat mengalami pengalaman unik ketika shooting Sahabat Jauh. Misalnya, ketika shooting di sebuah pesantren di wilayah Tangerang, Prahara cukup bingung saat harus mengikuti kegiatan sehari-hari para santri yang memerah susu. ''Awal saya memegang puting sapi yang diperah, saya merasa aneh. Begitu saya berusaha memencetnya, susu tak kunjung keluar,'' papar Prahara.

Ternyata, teknik yang Prahara lakukan salah. Begitu bisa keluar, susunya memancar ke arah muka Prahara. Akhirnya, untuk scene memerah susu pun harus diulang lebih dari tiga kali dengan angle yang sama. Ada juga kejadian yang cukup membuat waswas para kru saat mengambil adegan di tanah persawahan Bekasi. Prahara yang ikut kegiatan menanam padi rela bermandikan lumpur. Namun, kru khususnya para penata kamera harus amat hati-hati menjaga kameranya agar tak jatuh ke sawah.

Maklum saja, tanah tempat tripod dipijak sangat labil dan basah. Alas berupa papan kayu digelar di atas tanah untuk membantu tripod menopang. Tim produksi pun mengambil inisiatif lain dengan melakukan pengambilan gambar dengan pola zoom in.

Hal serupa juga terjadi saat mengambil gambar di sebuah dapur umum, tempat untuk memasak makanan para santri di sebuah pesantren di wilayah Bekasi. ''Hampir tiap kali take gambar, uap memasak menghalangi ketajaman gambar,'' ujar Yudi. Akhirnya, sang penata kamera menyiasati dengan mengambil gambar saat sedang tidak menggoreng atau merebus yang mengeluarkan banyak asap.

Di Cirebon, proses shooting terbilang lancar. Sejak pagi, Prahara dan kru yang berjumlah sekitar sembilan orang itu sudah menyambangi empat lokasi. Berawal dari shooting yang menggunakan dua kamera 30 milimeter itu di Terminal Cirebon, mereka pun bergerak ke sebuah sekolah perawat. Setelah itu barulah mereka beramai-ramai naik bus dalam kota menuju Pondok Buntet Pesantren dan sempat pula menyambangi para sesepuh pesantren. Dari sana, mereka mendatangi asrama santri.

Tak terasa, hari beranjak sore. Masih ada satu lokasi yang harus diselesaikan, yaitu makam pendiri Pondok Buntet yang memiliki nilai sejarah di sekitar Cirebon. Tanpa jeda, mereka langsung bergerak menuju lokasi. Hari itu juga berakhirlah episode Cirebon.

Santri Grogi
Dalam setiap episode, Prahara menemui sahabatnya yang tinggal sementara di pesantren. Dikisahkan, Prahara mengenal sahabatnya itu melalui internet yang kemudian berlanjut dengan komunikasi lewat telepon seluler yang berujung pada pertemuan.

Lantaran mereka itu bukan sosok yang dikenalnya sejak lama, sahabat-sahabat Prahara yang ada dalam Sahabat Jauh sangat beragam. Tidak melulu para siswa dari tingkat madrasah, tsanawiyah, atau aliyah, namun bisa juga guru atau pegawai yang bekerja di lingkungan dalam pesantren.

Tak jarang sahabat-sahabat yang hadir memiliki keahlian khusus. Misalnya, mereka sangat memahami sejarah dan pengetahuan Islam maupun punya keterampilan lain seperti kaligrafi. Usia para sahabat Prahara pun bermacam-macam. Ada yang lebih muda dengan usia 20 tahun atau lebih dari 30 tahun, perempuan maupun laki-laki.

Sahabat-sahabat baru Prahara ini jumlahnya hampir 100 orang. Dalam tiap tayangan, Prahara menemui paling tidak dua orang sahabat --satu sebagai pemeran sahabat utama dan satu lainnya sebagai sahabat penghubung ke pemeran sahabat utama.

Lantaran sebagian besar 'sahabat' Prahara itu adalah orang biasa yang tak pernah tampil di depan kamera, mereka pun menghadapi masalah klasik: Grogi.

Padahal, saat membaca naskah sebelum shooting berlangsung mereka sudah lancar menghafal dialog, rupanya situasi berbeda muncul ketika kamera menyala.

Seperti pada pengambilan adegan antara Zidni dan Prahara, seorang penata kamera harus mengambil ulang adegan bersalaman lantaran Zidni grogi mengucapkan salam.

Hal itu, kata pria bernama lengkap Muhammad Prahara ini, biasa terjadi dan sangat bisa dimaklumi. Untuk menghilangkan grogi sang sahabat dan melakukan penyesuaian diri dengan sahabat baru yang memiliki latar belakang berbeda, Prahara biasanya sempat ngobrol dulu beberapa hari sebelum shooting.

Bila jadwalnya amat padat, proses adaptasi pun terpaksa dilakukan beberapa jam sebelum shooting. ''Ya, saya berusaha berbincang layaknya bicara dengan teman saya, santai, enjoy, dan banyak bercanda. Ini agar mereka saat shooting juga rileks dan tak kaku,'' papar Prahara.

Selain pendekatan dengan sahabat seraya mendalami naskah, Prahara pun sudah mempelajari materi yang akan dibawakan jauh hari sebelum shooting. Bahkan, kira-kira dua minggu sebelumnya. Maklum, hal ini dilakukan lantaran banyak kosa kata Islam yang cukup asing di telinga Prahara. ''Jadinya, aku harus mempelajari dengan seksama dan rajin bertanya jika menemukan kosa kata yang belum pernah aku temui biar tidak salah pengucapannya,'' tambah Prahara.

Bernilai Sejarah
Mengapa pesantren? Pertanyaan inilah yang menggelitik ketika menyaksikan program Sahabat Jauh. Rupanya, potret institusi pendidikan Islam dalam bentuk pesantren masa kini sudah terkenal di mancanegara. ''Indonesia sangat terkenal dengan pesantrennya. Kami pun ingin mengangkatnya agar kegiatan pesantren ini lebih diketahui oleh masyarakat Indonesia khususnya sehingga tak kalah populer dengan intitusi pendidikan lain,'' ujar Dewi Fadjar, direktur program Astro Indonesia, seperti dikutip dalam siaran pers.

Henry pun mengungkapkan, di Pulau Jawa banyak pesantren yang cukup menarik. Untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah termasuk Jakarta sudah ada terdata sedikitnya 1.000 pesantren.

Untuk memilih pesantren yang akan ditengok oleh Prahara, tim produksi Double Vision Indonesia pun melakukan serangkaian riset. Diawali dengan melakukan browsing di internet, tim produksi juga meninjau langsung lokasi puluhan pesantren sebelum akhirnya memilih sekitar 50-an pesantren yang akan diangkat dalam tayangan program.

Respons yang diberikan oleh para institusi pendidikan agama yang dikenal dengan pondok pesantren juga cukup bagus. Bahkan, beberapa pesantren melayangkan surat permohonan untuk menjadi salah satu pondok pesantren yang akan ditengok oleh Prahara dalam Sahabat Jauh, papar Henry. Namun, Double Vision Indonesia cukup selektif dalam memilih pondok pesantren. Pemilihan itu bisa saja dari nilai sejarahnya ataupun kegiatan-kegiatan unik yang dimiliki masing-masing pesantren. Seperti pada Pondok Buntet Pesantren. Nilai sejarah pesantren ini terletak dari tahun berdirinya. Pondok Buntet Pesantren didirikan oleh Mbah Muqoyyim yang masih keluarga Kesultanan Cirebon pada tahun 1758. Pesantren yang sudah sangat tua. Di salah satu komplek pesantren yang ada di wilayah Kecamatan Astanajapura ini juga berdiri cukup megah sebuah masjid dengan pilar kayu jati yang tetap kokoh dibangun oleh Sunan Gunung Jati.

Adanya nilai sejarah tersebut, menurut Henry Sastrawijaya, marketing executive Double Vision Indonesia, bisa memberikan wawasan baru bagi penontonnya. ''Sehingga tayangan yang bersifat religi ini kami harap bisa menjadi sarana penambah pengetahuan bagi yang menonton. Bukan hanya tontonan yang sifatnya hanya menghibur,'' ujar dia.

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar