Photobucket

Laman

Sabtu, 12 November 2011

Membaca Pesan dari Tuhan

Oleh: A. Irfan Maulana, SH


Banyaknya kekacauan yang kerap terjadi akhir-akhir ini, mulai dari persoalan sosial, konflik antar warga, dan sebagainya, menuntut kita untuk menyegarkan kembali apa yang terkandung dari agama. Agama merupakan pesan Tuhan bagi umat manusia yang disampaikan bersamaan dengan berbagai ritual yang terkandung di dalamnya. Pesan agama adalah pesan langit yang harus dijalani, apapun bentuknya.

Dalam pelaksanaannya, karena bahasa Tuhan berbeda dengan bahasa manusia, Ia mengutus ribuan juru selamat (baca: nabi dan rasul) untuk menerjemahkan bahasa-Nya kepada umat mereka masing-masing. Dengan demikian, pesan Tuhan dapat sampai dan dipahami serta diaplikasikan oleh seluruh umat secara sempurna. Perlu diketahui bahwa dari sekian banyak jumlah juru selamat yang diyakini oleh umat Islam, Bani Israel menyumbang juru selamat paling banyak. Hampir sebagian besar dari mereka berasal dari golongan ini. Melihat hal tersebut, ada adagium kuat bahwasanya Bani Israel adalah bangsa pilihan diantara bangsa-bangsa yang lain.

Pesan yang nge-Tren
Gambaran konflik horizontal yang ada di tengah masyarakat merupakan bagian dari realita masyarakat yang harus dicari darimana akar permasalahannya berasal. Oleh karena itu, pembahasan mengenai bagaimana Pesan Tuhan tersampaikan dan kemudian terlembagakan pada umat-Nya merupakan bagian dari upaya untuk mengurai akar permasalahan tersebut. 

Setiap agama tentunya memiliki golongan yang dengan sukarela giat menjaga pesan Tuhan yang dijelmakan melalui perilaku mereka. Istilahnya adalah golongan suci yang mentahbiskan diri secara utuh untuk agamanya. Dalam Islam, setelah generasi juru selamat disempurnakan oleh Rasulullah saw sebagai khâtam al-anbiyâ` (penutup para nabi), pesan Tuhan tersebut beralih tugas kepada para sahabatnya untuk disampaikan kepada seluruh manusia. Sepeninggal Rasulullah, maka generasi berikutnya adalah golongan sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, hingga pada ulama salaf. Sementara itu, agama lain mempunyai istilah tersendiri dalam menamai generasinya. 

Sepeninggal para juru selamat dari berbagai agama, maka pelembagaan pesan Tuhan dirasa perlu untuk dilakukan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya pesan Tuhan yang perlu untuk dikaji dan ditelaah kembali berdasarkan konteks kekinian sehingga Ruh dari Pesan Tuhan yang berlaku dalam setiap ruang dan waktu dapat tetap hidup. 

Proses pelembagaan dari pelbagai agama memiliki sejarah panjang. Misalnya saja yang terjadi pada agama Budha. Sepeninggal pendirinya, yaitu Siddhartha Gautama atau yang biasa dipanggil dengan julukan Buddha Gautama, para pengikut Budha mengadakan Sidang Agung yang bertujuan untuk menghimpun ajaran-ajaran Budha yang terserak untuk kemudian diajarkan dan disebarkan kepada banyak orang. Karena Buddha tidak meninggalkan ajarannya secara tertulis, ajarannya diteruskan lewat sekumpulan memori murid-muridnya yang tertuang dalam bentuk sutra-sutra. Melalui Sidang Agung pula lahir para bhiksu. Mereka mendedikasikan diri secara utuh dalam lingkungan biara sebagai golongan suci yang mencoba menerjemahkan pesan Tuhan. 

Dalam ajaran Kristen, golongan suci dinamakan biarawan atau biarawati. Demi kepentingan agama, mereka secara sukarela meninggalkan kehidupan duniawi dan memfokuskan hidupnya di biara dan gereja. Di Indonesia, biasanya para biarawan ini dipanggil dengan sebutan suster. Mereka bertugas melayani ummat, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga sosial kemasyarakatan. Tugas suster, atau bagi laki-laki disebut dengan bruder, ini semata-mata untuk memperingan tugas uskup atau pastor yang memimpin lingkungan gereja. 

Islam, Indonesia, dan Santri
Tidak terkecuali Islam. Setelah kemunculan al-Qur`an di zaman kegelapan pada abad ketujuh masehi dimana mayoritas masyarakatnya pada waktu itu buta huruf, semua orang memandang perlu untuk kembali mengkaji pesan Tuhan yang terkandung di dalamnya. Tentunya proses mengkaji al-Qur`an bukanlah persoalan yang gampang, melainkan memerlukan metode jitu serta kapasitas yang mumpuni. Khusus di Indonesia, pemegang tongkat estafet sebagai juru selamat yang berkompeten untuk mengartikan bahasa Tuhan adalah santri. Santri berasal dari bahasa sansekerta cantrik, yang berarti pengemban Kitab Suci.

Polarisasi pendidikan model santri merupakan cara para ulama terdahulu untuk mengakaji serta memahami pesan Tuhan secara komprehensif. Gus Dur mengemukakan bahwa pesantren, berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya, memiliki paling tidak tiga elemen utama yang layak untuk dijadikan sebagai sebuah subkultur; (1) pola kepemimpinan pesantren yang mandiri dan tidak terkooptasi oleh negara; (2) kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan yang diambil dari berbagai abad (dalam terminologi pesantren dikenal dengan kitab klasik atau Kitab Kuning); dan (3) sistem nilai (value system) yang dianut. Beberapa nilai moralitas yang selalu ditekankan dalam ajaran-ajaran di pesantren adalah keikhlasan (al-ikhlâsh), kemandirian (al-i’timâd ‘alâ al-nafs), kesederhanaan hidup (al-iqtishâd), asketis (al-zuhd), menjaga diri (al-wara’), dan lain-lain.

Pada umumnya, pesantren menjadikan tafaqquh fi al-dîn sebagai tujuan pesantren. Secara literal ia berarti “mendalami agama”. Pengertian tafaqquh di sini tidak hanya berarti mempelajari agama eksoterik atau dalam arti hukum-hukum fiqh yang legal-formal, melainkan lebih dari itu. Lebih lanjut, menurut Zamakhsyari,


“Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan pelajaran-pelajaran agama, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah-laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap santri diajarkan agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) kepada Tuhan.”

Kesimpulan
Pada akhirnya, janganlah kita terjebak akan luasnya pesan Tuhan. Pesan Tuhan merupakan pesan yang harus dipahami secara lebih mendalam lagi agar tatanan bangsa dan masyarakat kita lebih terarah. Namun demikian, ironisnya, banyak dari kalangan agamawan tidak bisa membawakan perannya sebagai pembawa pesan Tuhan yang baik hingga pada akhirnya justru kekacauanlah yang banyak terjadi. Seharusnya agamawan dan juga lembaga-lembaga agama yang ada mampu memposisikan diri sebagai pencetak karakter bangsa dan peradaban manusia, sehingga yang terjadi kemudian bukanlah Pesan Tuhan yang terabaikan karena adanya “pesan” lain yang lebih memberikan keuntungan bagi dirinya. Karena pada dasarnya, Pesan Tuhan melalui semua agama telah mengarahkan, menganjurkan, serta membimbing manusia ke arah yang lebih baik. Persoalannya kemudian hanyalah sejauh mana kita dapat mengartikan pesan Tuhan tersebut? 

Selamat membaca pesan dari Tuhan!

0 komentar:

Posting Komentar

Komentar