Photobucket

Laman

Kamis, 15 September 2011

Qa'idah I'lal yg Janggal: Telaah Kritis atas Kitab Qawā'id al-I'lāl fi al-Sharf Karya Mundzir Nadzir

Oleh: R.Mh. Zidni Ilman NZ, S.Fils


Bagi para peminat Nahwu Shorof mungkin tidak asing lagi dengan kitab Qawā'id al-I'lāl fi al-Sharf karya Kyai Mundzir Nadzir asal Sekaran, Ngronggot, Kertosono. Kitab ini menjadi rujukan di beberapa pesantren di Indonesia, selain karena ringkas (hanya berisi 19 kaidah dengan sedikit tambahan), pembahasannya pun tidak terlalu rumit sehingga mudah dipelajari. Terlebih lagi karena di sana terdapat keterangan berbahasa jawa yang memudahkan para pembacanya yang berasal dari Jawa seperti saya ini.

Saya sendiri sudah bersentuhan dengan kitab mini tersebut lebih dari 17 tahun lamanya, baik sebagai pelajar maupun pengajar. Sungguh menyenangkan mengetahui bagaimana proses sebuah pola kalimat terbentuk berikut alasan-alasannya. Namun beberapa tahun belakangan, setelah saya menjadi pengajar, muncul beberapa kejanggalan yang saya dapati di dalamnya, salah satunya terdapat pada qa'idah i'lal nomor tiga yang berbunyi:

إِذَا وَقَعَتِ الْوَاوُ وَالْيَاءُ بَعْدَ أَلِفٍ زَائِدَةٍ أُبْدِلَتْ هَمْزَةً بِشَرْطِ أَنْ تَكُوْنَا عَيْنًا فِي اسْمِ فَاعِلٍ وَطَرَفًا فِيْ مَصْدَرٍ نَحْوُ صَائِنٍ وَسَائِرٍ وَكِسَاءٍ وَبِنَاءٍ أَصْلُهَا صَاوِنٌ وَسَايِرٌ وَكِسَاوٌ وَبِنَايٌ

Dalam qa'idah tersebut, kurang lebih dikatakan bahwa wawu atau ya harus diganti dengan hamzah apabila keduanya jatuh setelah alif tambahan, baik ketika menjadi 'ain fi'il pada isim fa'il maupun ketika berada di ujung mashdar.

Sekilas qa'idah ini tidak bermasalah, namun jika kita cermati lebih dalam pada kalimat "عَيْنًا فِي اسْمِ فَاعِلٍ" maka kejanggalan akan segera muncul. Dari redaksinya, secara pasti dapat disimpulkan bahwa qa'idah tersebut berlaku bagi seluruh isim fa'il yang mengandung alif tambahan yang kemudian diikuti oleh wawu atau ya. Dan sebagaimana diketahui bahwa isim fa'il memiliki pola kalimat yg sangat variatif, seperti فَاعِلٌ - مُفْعِلٌ - مُفْتَعِلٌ - مُفَاعِلٌ - مُسْتَفْعِلٌ, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak pola isim fa'il, hanya tiga diantaranya yang mengandung alif tambahan, yakni فَاعِلٌ - مُفَاعِلٌ - مُتَفَاعِلٌ.


Sekarang, mari kita buktikan! Seandainya kita men-tashrif lafaz قَامَ - بَاعَ - قَاوَمَ - بَايَعَ - تَقَاوَمَ - تَبَايَعَ , maka hasilnya adalah sebagai berikut:

قَامَ - يَقُوْمُ - قِيَامًا - فهو قَائِمٌ
بَاعَ - يَبِيْعُ - بَيْعًا - فهو بَائِعٌ
قَاوَمَ - يُقَاوِمُ - مُقَاوَمَةً - فهو مُقَاوِمٌ
بَايَعَ - يُبَايِعُ - مُبَايَعَةً - فهو مُبَايِعٌ
تَقَاوَمَ - يَتَقَاوَمُ - تَقَاوُمًا - فهو مُتَقَاوِمٌ
تَبَايَعَ - يَتَبَايَعُ - تَبَايُعًا - فهو مُتَبَايِعٌ


Di sinilah letak kejanggalannya, dimana wawu dan ya pada isim fa'il pertama dan kedua memang berubah menjadi hamzah, namun kedua huruf itu tetap ada dan tidak berubah sama sekali pada isim fa'il lainnya. Pada empat contoh terakhir jelas sekali terlihat bahwa wawu dan ya di sana tidak diganti dengan hamzah, meskipun keduanya jatuh setelah alif tambahan pada isim fa'il. Atau dengan kata lain semua kalimat tersebut sebenarnya sudah memenuhi syarat yang diajukan dalam qa'idah tiga. Jika ingin konsisten dengan peraturan yang ada, maka seharusnya berbunyi مُقَائِمٌ - مُبَائِعٌ - مُتَقَائِمٌ - مُتَبَائِعٌ. Namun kenyataannya tidak demikian.

Saya pun sempat dibuat bingung dengan qa'idah ini, bahkan merasa khawatir apabila ada yang menanyakan persoalan itu sementara saya belum menemukan jawabannya. Oleh karenanya, kejanggalan ini perlu segera dituntaskan agar saya tidak selalu dihantui oleh kekhawatiran kala memberikan materi pelajaran qawa'id al-i'lal. Sempat terfikir oleh saya untuk menggati kitab tersebut dengan kitab lain. Akan tetapi cara demikian hanya sekedar menghilangkan perasaan khawatir saja, sedangkan naluri rasa ingin tahu sekaligus beban moralitas intelektual saya akan tetap berkeliaran.

Setelah sekian lama, akhirnya sekitar dua tahun yang lalu saya menemukan sebuah literatur nahwu (saya lupa namanya) yang juga berbicara tentang perubahan wawu dan ya menjadi hamzah karena jatuh setelah alif tambahan. Di sini dikatakan bahwa wawu atau ya diganti dengan hamzah apabila jatuh setelah alif tambahan pada isim fa'il dari fi'il tsulatsi mujarrod. Sekilas qa'idah ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Mundzir Nadzir. Namun bagi saya qa'idah tersebut jauh lebih memuaskan. Tambahan kalimat "fi'il tsulatsi mujarrod" cukup signifikan dan mengena mengingat seluruh isim fa'il dari fi'il tsulatsi mujarrod hanya memiliki satu pola yang sama, yakni فَاعِل! Dengan demikian wazan مُفَاعِلٌ dan مُتَفَاعِلٌ pun mundur teratur.

Yesss!! Ini dia jawaban yang selama ini saya cari. Tapi persoalannya belum berhenti sampai di sini. Bagaimana dengan qa'idah ketiga milik Mundzir Nadzir tadi?? Pertanyaan dilematis kembali menyeruak. Haruskah saya mencari kitab lain sebagai materi pelajaran, padahal saya masih ingin terus menggunakannya. Jika iya, maka berarti saya akan kehilangan kitab yang selama ini setia menemani saya selama bertahun-tahun dan secara tidak langsung menunjukkan kepengecutan saya dalam menghadapi tantangan intelektual ini. Setelah berfikir cukup lama, akhirnya saya menemukan solusinya. Saya mencoba memberanikan diri untuk melakukan sedikit perubahan dengan mengganti kalimat "عَيْنًا فِي اسْمِ فَاعِلٍ" yang berarti "ain fi'il pada isim fa'il" menjadi "عَيْنًا فِي فَاعِلٍ" (tanpa kata اسْمِ) yang berarti "ain fi'il pada wazan فَاعِل". Perubahan ini semata-mata saya lakukan demi kecintaan saya pada kitab Qawā'id al-I'lāl fi al-Sharf tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat dan ta'zhim saya kepada penulisnya, Kyai Mundzir Nadzir. Mudah-mudahan beliau meridhoi apa yang sudah saya lakukan ini. Amin.

Satu kata, BINGO!

2 komentar:

  1. Thax Gan atas koreksinya. Kalau ada koreksi yg lain terkait kitab tersebut, saya tunggu.

    BalasHapus

Komentar